Bagaimana Perubahan Iklim Memengaruhi Perburuan Manusia Prasejarah?

By National Geographic Indonesia, Senin, 27 April 2020 | 15:23 WIB
Ilustrasi dampak perubahan iklim. (leolintang/Getty Images/iStockphoto)

Idealnya iklim ini membuat manusia mulai semakin dapat mengembangkan teknologi bercocok tanam dan berternak. Mereka juga mulai hidup lebih berkelompok dan membangun komunitas yang lebih besar.

Hal ini didukung dengan ditemukannya pecahan tembikar dan sisa arang yang tinggi yang berasal dari pertengahan masa Holosen, yaitu sekitar 4.000 tahun lalu. Penemuan ini mengindikasikan awal berkembangnya teknologi dalam mengolah dan menyimpan makanan.

Belajar dari masa lalu untuk mempersiapkan masa depan

Dengan ilmu arkeologi dan paleontologi, kita dapat mempelajari bagaimana lingkungan berperan sebagai faktor sentral dalam perkembangan peradaban manusia.

Memahami masa lalu bisa membantu kita mengetahui posisi kita dalam peradaban umat manusia. Manusia telah mampu bertahan hidup melewati berbagai perubahan iklim yang terjadi di muka bumi dengan memanfaatkan sumber daya di sekitarnya.

Baca Juga: Peneliti Ungkap Peradaban Pertanian Papua Nugini 1000 Tahun Lebih Awal

Pemanasan global yang terjadi belakangan ini merupakan tantangan yang harus dihadapi dengan saksama. Kebakaran hutan, banjir, dan kondisi cuaca yang fluktuatif semakin rentan terjadi.

Oleh karena itu, kita dituntut untuk lebih baik dalam mengelola alam. Seluruh lapisan masyarakat sepatutnya dapat memenuhi kebutuhan energi, pangan, dan air bersih dengan tetap memperhatikan keseimbangan lingkungan.

Komunitas awal Pulau Kisar telah menunjukkan daya tahan dan adaptabilitas yang menakjubkan dari spesies kita. Kita memiliki kapasitas untuk mengatasi perubahan di depan mata - rekaman sejarah kita telah membuktikannya.

Kita adalah ‘manusia bijak’ atau ‘Homo sapiensHomo sapiens’, dalam bahasa latin. Maka kita harus terus bersikap bijak, atau masa kita di bumi harus berakhir.

Penulis: Hendri Kaharudin, Higher Degree Research Candidate, Australian National University dan Shimona Kealy, Postdoctoral Researcher, College of Asia & the Pacific, Australian National University

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.