Cerita Kuli Perkebunan di Balik Kubah Lonceng Megah AVROS Medan

By Mahandis Yoanata Thamrin, Jumat, 1 Mei 2020 | 11:57 WIB
Gedung AVROS dibangun pada 1918-1919 di sebuah perempatan Jalan Kesawan Medan. Kubah hijau nan megah tempat bersemayamnya lonceng penanda kota. (Mahandis Y. Thamrin/National Geographic Indonesia)

 

Ruangan kubah hijau nan megah AVROS yang merupakan menara jam dan sekaligus sebagai ruang resonansinya. (Mahandis Yoanata Thamrin)
 

 

Berkas-berkas sidik jari kuli kontrak perkebunan karet zaman Hindia Belanda di bawah asosiasi AVROS Medan. (Mahandis Y. Thamrin/National Geographic Indonesia)
 

Peralatan yang digunakan ahli daktiloskopi untuk bekerja memeriksa sidik jari kuli-kuli perkebunan di pantai timur Sumatra. (Mahandis Y. Thamrin/National Geographic Indonesia)

Pada awal abad ke-20, tak jarang kuli disekap tanpa makan minum, dicambuk, sampai diseret kuda dengan tangan terikat.

Banyak juga yang disiksa dan dipukuli dengan daun jelatang lalu disiram air sehingga seluruh tubuh membengkak, hingga ditusuk bagian bawah kukunya dengan pecahan bambu. Itu semua belum cukup memuaskan tuan kebun. Bahkan, bagi kuli perempuan hukumannya tak terperi: kemaluannya digosok dengan merica halus.

Saya mengira sistem sidik jari untuk para kuli hanya dipakai masa kolonial. Ternyata saya salah. Seorang karyawati sepuh—tampaknya ahli daktiloskopi— bekerja dengan tumpukan arsip di sebuah meja besar tinggalan Hindia Belanda. Dia sedang menggeser lensa pembesar untuk memeriksa sidik jari kuli-kuli perkebunan. Sambil bekerja dia tersenyum dan berujar kepada saya yang mengamatinya dengan keheranan, “Kami masih menggunakan sistem sidik jari ini untuk para karyawan perkebunan sini.”

Gedung Algemeene Vereeniging van Rubberplanters ter Oostkust van Sumatera atau Asosiasi Pemilik Perkebunan Karet di Pantai Timur Sumatra, yang dibangun pada 1918-1919. Foto pada 1931. (KITLV)

[Artikel ini pernah diunggah pada Agustus 2013. Kami memperbaiki dan menayangkannya ulang.]