Dentang lonceng AVROS seolah mengungkit kembali gelimang perkebunan dan jeritan kuli kontrak di Medan. Takdir pantai timur Sumatra berubah sejak pembukaan lahan perkebunan baru pada akhir abad ke-19, yang melejitkan Medan. Wajah kota itu pun bak gadis yang bersolek.
Para pemilik modal berbagai kebangsaan bertaruh dengan manisnya keuntungan hasil perkebunan. Berbagai kantor perkebunan, bank, hotel, dan sarana rekreasi pun menjamur di kota itu. Permintaan tenaga kasar perkebunan pun meningkat yang mengakibatkan mobilisasi besar-besaran penduduk dari Jawa ke Sumatra.
Perusahaan perkebunan merekrut tenaga kerja dari Jawa dan Cina. Mengapa Jawa dan Cina? Karena pasokan tenaga kerja setempat sangat terbatas, sementara orang-orang Melayu asli tidak begitu tertarik bekerja di perkebunan.
Baca Juga: Akibat Pandemi COVID-19, 1,6 Miliar Pekerja Kehilangan Mata Pencaharian
Saya memandangi sebuah gedung berkubah hijau art-nouveau berangka “1918” dan “1919” di sebuah persimpangan Jalan Kesawan, Medan. Inilah gedung AVROS (Algemeene Vereeniging van Rubberplanters ter Oostkust van Sumatra atau Asosiasi Pemilik Perkebunan Karet di Pantai Timur Sumatra) yang dibangun pada 1918-1919. Asosiasi serupa pernah dibentuk pada 1879 yang bernama Deli Planters Vereeniging (DPV).
Arsitek gedung ini adalah G.H. Mulder. Gaya arsitektur karyanya dipengaruhi oleh rasionalisme yang bangkit pada awal abad ke-20. Bangunan empat lantai dalam konstruksi beton ini juga memiliki dekorasi sederhana dalam gaya art-nouveau. Setiap lantai memiliki balkon berupa galeri terbuka. Galeri ini dirancang untuk melindungi ruang dalam dari terpaan panasnya matahari, sehingga ruangan selalu sejuk—tanpa pendingin ruangan. Inilah adalah penyesuaian arsitektur untuk iklim tropis.
Pada awal abad ke-20, tak jarang kuli disekap tanpa makan minum, dicambuk, sampai diseret kuda dengan tangan terikat.
Banyak juga yang disiksa dan dipukuli dengan daun jelatang lalu disiram air sehingga seluruh tubuh membengkak, hingga ditusuk bagian bawah kukunya dengan pecahan bambu. Itu semua belum cukup memuaskan tuan kebun. Bahkan, bagi kuli perempuan hukumannya tak terperi: kemaluannya digosok dengan merica halus.
Saya mengira sistem sidik jari untuk para kuli hanya dipakai masa kolonial. Ternyata saya salah. Seorang karyawati sepuh—tampaknya ahli daktiloskopi— bekerja dengan tumpukan arsip di sebuah meja besar tinggalan Hindia Belanda. Dia sedang menggeser lensa pembesar untuk memeriksa sidik jari kuli-kuli perkebunan. Sambil bekerja dia tersenyum dan berujar kepada saya yang mengamatinya dengan keheranan, “Kami masih menggunakan sistem sidik jari ini untuk para karyawan perkebunan sini.”
[Artikel ini pernah diunggah pada Agustus 2013. Kami memperbaiki dan menayangkannya ulang.]