Membicarakan Serangga dan Nasibnya di Bumi, Apa yang Harus Dilakukan?

By Gita Laras Widyaningrum, Minggu, 3 Mei 2020 | 21:13 WIB
Perangkap cahaya di pegunungan Chiricahua di Arizona didominasi oleh ngengat Hyles lineata dan kepik daun. (National Geographic)

Nationalgeographic.co.id – Segenap tim National Geographic Indonesia menyelenggarakan Bincang Redaksi 5: Cerita Sampul dan Selidik Edisi Mei 2020, pada Sabtu (2/5/2020) via aplikasi Zoom. Pada kesempatan kali ini, kami berbagi cerita mengenai konten majalah National Geographic Indonesia edisi Mei 2020, mulai dari “Penyanitasi Tangan dari Bahan Rumahan”, “Perisai Diri Kala Menelusuk Pagebluk”, hingga “Beranjak Dewasa Bersama Autisme”

Selain itu, Bincang Redaksi kelima ini juga membahas lebih jauh tentang “Kiamat Serangga” yang menjadi topik utama pada edisi Mei 2020. Berangkat dari kisah feature “Ke Mana Lenyapnya Semua Serangga?” yang diceritakan oleh Elizabeth Kolbert dan fotografer David Liittshwager, populasi serangga diketahui menghilang dengan kecepatan yang mengkhawatirkan. Perubahan iklim, hilangnya habitat, dan pestisida diduga menjadi faktor penyebabnya.

Baca Juga: DARI EDITOR: Kiamat Serangga dalam Linimasa Perkembangan Kota

Didi Kaspi Kasim, Editor in Chief National Geographic Indonesia, menyampaikan bahwa saat ini kita sedang memasuki era Antroposen, di mana salah satu cirinya adalah bagaimana manusia memiliki dampak besar bagi keberlangsungan hidup planet ini, termasuk serangga.

“Kini, muncul tanda-tanda kemusnahan global jika manusia tidak mengubah perilaku atau cara hidupnya ketika berdampingan dengan spesies-spesies yang ada di Bumi,” kata Didi.

Ia menambahkan, karena serangga merupakan makhluk kecil, banyak dari kita yang terkesan meremehkannya. Dan tanpa disadari, populasi serangga menghilang dengan cepat, padahal masih banyak yang belum dipelajari.

“Beberapa peneliti bahkan mengatakan ini sebagai ‘sains putus asa’, karena kita belum sempat mengetahui spesiesnya, tapi mereka keburu menghilang. Masih ada sekitar 5 juta lagi yang belum diketahui,” papar Didi.

Untuk melengkapi kisah tentang serangga dan nasibnya kini, National Geographic Indonesia menggunakan sampul kupu-kupu Graphium codrus yang dikoleksi saat Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia melakukan penelitian di Weda, Maluku Utara, pada 2010.

Sampul National Geographic Indonesia edisi Mei 2020, bertajuk Kiamat Serangga. Kupu-kupu Graphium codrus dikoleksi saat Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia melakukan penelitian di Weda, Maluku Utara, pada 2010. Kini koleksi itu tersimpan di Museum Zoologicum Bogoriense, LIPI. Walau menyebar di wilay (Heri Cahyadi/National Geographic Indonesia)

Djunijanti Peggie, Peneliti Kupu-kupu Museum Bogoriense, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, menjelaskan bahwa spesies ini biasa ditemukan di Sulawesi, Maluku dan Papua. Di luar Indonesia, ia kerap berada di Filipina, Papua Nugini, dan Kepulauan Solomon. Namun, keberadaannya di pulau-pulau kecil sulit ditemui.

Peggie mengatakan, kupu-kupu Graphium codrus sebenarnya bukan spesies endemik Indonesia, tidak terancam punah, juga tidak langka. Namun, faktanya, hanya ada 21 spesimennya di Museum Zoologi Bogor. Apa artinya?

“Untuk spesies yang tidak masuk ke dalam ketiga kategori di atas, angka tersebut mengejutkan karena sangat sedikit,” ungkap Peggie yang turut menjadi pembicara pada Bincang Redaksi 5: Cerita Sampul dan Selidik Edisi Mei 2020.