Akhir Karantina Italia, Laporan Pandangan Mata dari Episentrum Pandemi

By Fikri Muhammad, Sabtu, 23 Mei 2020 | 13:27 WIB
Koloseum Roma, Italia. (Thinkstockphoto)

"Orang Italia termasuk orang yang nynir tapi karena merasa ada musuh yang sama rasa patriotik itu muncul." Mengapa bisa demikian? "Italia sempat merasa sendirian," katanya.

Solidaritas pemerintahan terasa saat parlemen Italia meminta pemerintah menangani masalah dengan transparan, mereka menyanggupinya. Transparansi itu diwujudkan dengan laporan terkini dan akurat mengenai angka orang yang terjangkit virus beserta informasi detail lainya.

Berbeda dengan negara kebanyakan, media di Italia tidaklah sumber informasi yang utama. Menurut Rieska, tugasnya media sekadar verifikasi dan memberikan informasi pembanding. Dia menegaskan beban media masa di Italia ialah memilih narasumber yang tepat. Pasalnya, para pembaca cukup kritis jika pemberitaan media masa kurang baik.  

Baca Juga: Tiga Hal yang Perlu Diperhatikan Sebelum Melongggarkan Karantina Wilayah Menurut WHO

Pada pertengahan Mei 2020, warga Milan telah kembali memenuhi kebutuhan di pusat perbelanjaan. Pembukaan karantina diharapkan akan mendorong pemulihan ekonomi di Italia. (Rieska Wulandari)

Permasalahan pemerintah Italia sejak karantina wilayah total pada 9 Maret ialah banyaknya anak muda yang enggan mematuhi peraturan dan memaksa pulang kekampung halamanya. Provinsi Lombardia sudah menjadi zona protetta, wilayah penyebaran yang masif. Namun anak muda tanpa gejala yang sekolahnya di tutup dan para pekerja banyak yang pulang kampung. Ini adalah salah satu faktor besar maraknya penyebaran corona di Italia. 

Satu orang bisa menyebabkan satu sampai tiga orang sakit. Bahkan menurut survei yang diutarakan Rieska, satu orang bisa menginfeksi 60 orang. 

Menepis masyarakat Italia yang jorok yang sebabkan penyebaran tinggi, Rieska justru berpendapat bahwa mereka justru apik, bersih, serta fashionable. Namun budaya kehangatan mungkin bisa jadi salah satu faktor.

Akhir karantina bukan berarti akhir kedisiplinan. Himbauan menjaga jarak antarindividu terpampang di mana-mana, termasuk di ruang publik, menjadi salah satu upaya pencegahan menjalarnya infeksi. (Rieska Wulandari)

Seperti cium pipi kanan cium pipi kiri, berpelukan dan kumpul-kumpul. Karena di Milan ada sistem apretivo, makan sebanyaknya hanya membayar 6 Euro saja. Masyarakat menghabiskan waktu dari sore hingga malam hari. Belum lagi ada budaya makan bersama keluarga di akhir pekan. Namun semua itu berubah. Tak ada lagi tegur sapa yang hangat bersama keluarga dan tetangga. 

"Hal yang menjadi kekuatan orang Italia itu justru menjadi bom atom yang luar biasa untuk penyebran virus," tutur Rieska. 

Masyarakat Italia banyak hidup di rusun dan bisa dihuni beberapa keluarga. Mereka yang sakit juga masih tinggal bersama keluarga, termasuk para jompo. Rieska menuturkan dalam satu malam 7 orang jompo bisa terinfeksi virus.