Akhir Karantina Italia, Laporan Pandangan Mata dari Episentrum Pandemi

By Fikri Muhammad, Sabtu, 23 Mei 2020 | 13:27 WIB
Koloseum Roma, Italia. (Thinkstockphoto)

 

Nationalgeographic.co.id— Acara Berbagi Cerita 19 Mei 2020 mengulas tema yang menarik yakni laporan karantina di Italia melalui kaca mata Jurnalis Lepas, Rieska Wulandari.

Tema ini dihadirkan karena Italia merupakan negara pertama di Eropa yang mengakhiri masa karantinanya pada awal Mei silam. Secara statistik, Italia pernah menyandang negeri yang terdampak pandemi paling buruk di dunia, sebelum akhirnya posisi itu disandang Amerika Serikat pada minggu kedua April.

"Selama ini kita membahas persoalan pandemi di dalam negeri," ungkap Mahandis Yoanata Thamrin, Managing Editor National Geographic Indonesia. Yoan, sapaan akrabnya, menambahkan, "Perbincangan pada kesempatan ini membahas awal pendemi di Italia, situasi selama karantina, dan akhir karantina."

Didi Kaspi Kasim, Editor in Chief National Geographic Indonesia, menambahkan "Tema acara ini boleh jadi contekan dari Italia mengenai fase-fase yang belum Indonesia lalui."

Provinsi Lombardia, Kota Milan, tempat Rieska Wulandari tinggal disinyalir sempat disinggahi turis Tiongkok yang positif membawa virus corona. Malangnya, kala itu flu musiman melanda Milan, usia anak sampai orang tua pun banyak yang berimun rendah. Virus itu mulai menjakar sehingga pemerintah Italia memutuskan beberapa daerahnya karantina wilayah pada 23 Februari 2020.

Suasana hari-hari akhir karantina—minggu pertama Mei 2020—di Milan, Italia. Anak-anak mulai bermain dan bersepeda di ruang publik, meski masih harus mengenakan masker. (Rieska Wulandari)

Para ilmuwan di Italia, menurut Rieska, mengungkapkan bahwa mereka perlu waktu untuk mengenali penyakit corona. Secara bersamaan hoaks dan kabar tidak jelas bermunculan. Rasialisme dan xenophobia pun merebak di Italia: kecurigaan kepada orang-orang asal Tiongkok.

"Namun negara pertama yang memberikan bantuan justru Tiongkok. Seperti APD, masker, dan lainya. Mereka merasa dalam bahtera yang sama dengan Italia. Situasi pun berubah dan pemerintah Italia berterima kasih kepadanya," ucap Rieska.

Selain itu, kabar hoaks penemuan vaksin dan konspirasi juga tak kalah tanding. Rieska menyatut Kementerian Kesehatan Italia yang menemukan 2000 berita hoax dari politik dan ekonomi. Secara disiplin, ia pun merangkum pemberitaan menjadi sebuah jurnal.

Pengalaman di dunia jurnalistik yang membantu Rieska bisa pilah pilih berita. Apalagi ia pernah liputan penyakit menular seperti chikungunya dan flu burung sebelum berangkat ke Italia. Menurutnya melihat pandemi harus merunutkan segala kejadian. Mulai dari sejarah, korban yang terpapar, dan memahami riset. 

Dua pesepeda bermasker melintas di dalam Galeria Vittorio Emanuele. Inilah galeri pertama di dunia yang difungsikan sebagai kawasan dagang. Bangunan akhir abad ke-19 ini diyakini menjadi cikal bakal mal di dunia. (Rieska Wulandari)

Di samping itu, Rieska menilai bahwa pemerintah Italia solid dalam mengatasi pandemi dan memiliki standar yang tinggi. Meskipun pro dan kontra sempat terjadi, pemerintah daerah maupun pusat berada pada bingkai yang sama. 

"Orang Italia termasuk orang yang nynir tapi karena merasa ada musuh yang sama rasa patriotik itu muncul." Mengapa bisa demikian? "Italia sempat merasa sendirian," katanya.

Solidaritas pemerintahan terasa saat parlemen Italia meminta pemerintah menangani masalah dengan transparan, mereka menyanggupinya. Transparansi itu diwujudkan dengan laporan terkini dan akurat mengenai angka orang yang terjangkit virus beserta informasi detail lainya.

Berbeda dengan negara kebanyakan, media di Italia tidaklah sumber informasi yang utama. Menurut Rieska, tugasnya media sekadar verifikasi dan memberikan informasi pembanding. Dia menegaskan beban media masa di Italia ialah memilih narasumber yang tepat. Pasalnya, para pembaca cukup kritis jika pemberitaan media masa kurang baik.  

Baca Juga: Tiga Hal yang Perlu Diperhatikan Sebelum Melongggarkan Karantina Wilayah Menurut WHO

Pada pertengahan Mei 2020, warga Milan telah kembali memenuhi kebutuhan di pusat perbelanjaan. Pembukaan karantina diharapkan akan mendorong pemulihan ekonomi di Italia. (Rieska Wulandari)

Permasalahan pemerintah Italia sejak karantina wilayah total pada 9 Maret ialah banyaknya anak muda yang enggan mematuhi peraturan dan memaksa pulang kekampung halamanya. Provinsi Lombardia sudah menjadi zona protetta, wilayah penyebaran yang masif. Namun anak muda tanpa gejala yang sekolahnya di tutup dan para pekerja banyak yang pulang kampung. Ini adalah salah satu faktor besar maraknya penyebaran corona di Italia. 

Satu orang bisa menyebabkan satu sampai tiga orang sakit. Bahkan menurut survei yang diutarakan Rieska, satu orang bisa menginfeksi 60 orang. 

Menepis masyarakat Italia yang jorok yang sebabkan penyebaran tinggi, Rieska justru berpendapat bahwa mereka justru apik, bersih, serta fashionable. Namun budaya kehangatan mungkin bisa jadi salah satu faktor.

Akhir karantina bukan berarti akhir kedisiplinan. Himbauan menjaga jarak antarindividu terpampang di mana-mana, termasuk di ruang publik, menjadi salah satu upaya pencegahan menjalarnya infeksi. (Rieska Wulandari)

Seperti cium pipi kanan cium pipi kiri, berpelukan dan kumpul-kumpul. Karena di Milan ada sistem apretivo, makan sebanyaknya hanya membayar 6 Euro saja. Masyarakat menghabiskan waktu dari sore hingga malam hari. Belum lagi ada budaya makan bersama keluarga di akhir pekan. Namun semua itu berubah. Tak ada lagi tegur sapa yang hangat bersama keluarga dan tetangga. 

"Hal yang menjadi kekuatan orang Italia itu justru menjadi bom atom yang luar biasa untuk penyebran virus," tutur Rieska. 

Masyarakat Italia banyak hidup di rusun dan bisa dihuni beberapa keluarga. Mereka yang sakit juga masih tinggal bersama keluarga, termasuk para jompo. Rieska menuturkan dalam satu malam 7 orang jompo bisa terinfeksi virus. 

Para sanak famili yang keluarganya terpapar dan dirawat di rumah mendapat fasilitas negara untuk kebutuhan sehari-hari. Belanja bulanan, logistik, dan paket obat-obatan dibantu pengantarannya oleh ambulan dengan petugas berpakaian hazmat. 

Pemandangan sudut kota Milan pada Akhir karantina yang bersamaan dengan bermulanya musim semi di Italia. Kendati tetap dalam kondisi waspada, warga menyambut situasi ini dengan bercengkerama dengan kerabat. (Rieska Wulandari)

Saat ini, Italia sudah mulai membuka aksesnya secara bertahap. Grafik penyebaran infeksi sudah turun, namun mereka tetap dalam kehati-hatian. Ada dua reaksi setelah dibuka, pertama masyarakat antusias dengan mengenakan masker gaya yang unik. Kedua, toko-toko yang melakukan kegiatan ekonomi mewajibkan pelangganya mengenakan sarung tangan. Pesan makan dan minuman juga hanya bisa dibawa pulang. Walaupun masih ada kekhawatiran bak hantu yang mengintai, ekonomi tidak bisa dibiarkan berhenti. 

Apalagi yang utama, sepak bola yang menjadi kebanggan orang Italia. "Sepak bola itu jadi itu faktor maha penting. Investasi Italia besar di sepak bola. Kalau itu sampai berhenti sangat disayangkan," ucap Rieska. Sekarang yang diperhatikan ialah bagaimana stadion aman. Dibuat standar proteksi bagi seluruh khalayak baik staff, pemain, pelatih, dan lainya. Karena, pada awalnya, stasion sepak bola sempat menjadi cawan petri penyebaran virus.

Pada awal Milan melakukan karantina wilayah, bertepatan dengan hari terakhir Milan Fashion Week 2020. Giorgio Armani mengadakan perhelatan secara daring untuk penggalangan dana. Sejak itu, industri fashion Milan memberikan bantuan untuk menyediakan masker dan sanitasi tangan. Mengubah bengkel busananya menjadi pusat bantuan COVID-19. Adapula klub sepak bola Internazionale Milano yang memberikan 100 ribu Euro ke rumah sakit.

Selain itu, anak-anak muda juga melakukan kerja sukarela, mengantar keperluan dapur, logistik, dan obat-obatan bagi masyarakat berimun rendah yang tinggal di rumah. 

Baca Juga: Wabah Corona, Ikan Kecil Hingga Lumba-Lumba Muncul di Perairan Italia

 

(National Geographic Indonesia)

Fasilitas-fasilitas umum juga menerapkan jaga jarak sosial dengan baik. Seperti tanda peringatan di metro yang tegas memberlakukan hal itu. Italia sendiri masih menutup turis masuk dan belum bisa keluar dari kawasan. Masyarakat yang ingin keluar kawasan harus membawa dokumen. Sekolah juga diperkirakan buka setelah selesai libur di September nanti.

"Italia sempat merasa apa artinya Uni Eropa," kata Rieska. "Kami sedih karena merasa lonely." Namun, warga Italia tampaknya memahami bahwa negara-negara Eropa lainnya pun sedang sibuk berperang menyelamatkan diri mereka dari pandemi ini. 

Moral cerita dalam perbincangan bersama Rieska ialah bagaimana perjuangan sebuah negara bangkit dari krisis pandemi yang mematikan, lalu kini memulai kehidupan barunya. "Selamat kepada Italia yang memulai kehidupan baru pada awal musim semi ini," pungkas Yoan. "Semoga kita bisa berkaca pada pengalaman Italia."

Rieska Wulandari, jurnalis lepas yang tinggal di Kota Milan selama satu dasawarsa terakhir. Rieska berswafoto di depan rumahnya, menandai hari-hari baru bersama warga Italia setelah pemerintah membuka karantina pada awal Mei silam. (Rieska Wulandari)