Lumbung Pangan Dunia

By National Geographic Indonesia, Jumat, 29 Mei 2020 | 22:55 WIB
Lautan rumah kaca mengelilingi rumah seorang petani di wilayah Westland di Belanda. Belanda menjadi negara terdepan di dunia dalam inovasi pertanian, yang merintis jalan baru untuk memerangi kelaparan. (Luca Locatelli.)

Jan dan Gijs van den Borne bermain di atas gunungan kentang yang dibudidayakan di pertanian ultra-produktif keluarga mereka. Hasil panennya dua kali lebih banyak daripada rata-rata panen global. Penyebabnya? Drone dan peralatan lainnya memeriksa kesehatan setiap tanaman, menentukan dengan pasti air dan nutrisinya. (Luca Locatelli.)
 

Ted menghadiri rapat petani dan peneliti di Wageningen. “Dengan cara ini kami menghasilkan cara inovatif untuk maju dan berimprovisasi,” ujarnya. “Petani dan peneliti seluruh Belanda berkumpul membahas berbagai sudut pandang dan tujuan bersama. Tak ada seorang pun yang punya jawaban sendiri.”

Pencarian jawaban untuk pertanyaan yang menyangkut hidup dan mati membangkitkan salah satu perusahaan paling inovatif di Belanda. Setengah abad lalu, Jan Koppert membudidayakan mentimun di lahan miliknya dan menggunakan semprotan zat kimia beracun untuk menangkis hama. Ketika seorang dokter menyatakannya alergi terhadap pestisida, Koppert mengerahkan kemampuannya untuk mempelajari musuh alami serangga dan arakhnida.

 

Dengan satu operator, mesin putar pemerah bisa memerah hingga 150 ekor sapi per jam di Kampus Susu Universitas Wageningen. Di sini, periset berusaha mengatasi tantangan peternakan sapi perah negara Belanda yang berpenduduk padat. (Luca Locatelli.)

Sekarang, Koppert Biological Systems menjadi perintis dalam pengendalian hama dan penyakit di 96 negara. Perusahaan Koppert dapat menyediakan larva kepik dalam kantong kapas yang akan tumbuh menjadi pemangsa rakus kutu daun. Atau, tertarikkah Anda pada satu kotak berisi 500 juta nematoda yang melancarkan serangan mematikan terhadap larva lalat yang merusak jamur komersial? Lebah yang rajin bekerja mengumpulkan nektar untuk memberi makan ratunya sekaligus membantu membuahi ovarium tanaman. Satu sarang lebah Koppert setiap hari mengunjungi setengah juta bunga. Petani lebah biasanya melaporkan adanya peningkatan hasil panen dan bobot buah sebesar 20 sampai 30 persen, dengan biaya kurang dari setengah biaya penyerbukan buatan.

 

Petani tomat Jasper Oussoren memeriksa generator yang mengubah gas alam menjadi listrik untuk penerangan. Produk sampingannya panas dan CO2 ditangkap dan digunakan untuk menghangatkan rumah kaca dan mempercepat pertumbuhan tanaman. (Luca Locatelli.)

Tidak ada teknologi pertanian Belanda yang lebih canggih daripada yang diterapkan di dalam benih. Dan tidak ada kontroversi yang lebih panas daripada hal yang menyangkut masa depan pertanian. Yang terpanas adalah pengembangan organisme hasil rekayasa genetika (GMO) untuk menghasilkan panen lebih banyak dan tanaman lebih tahan hama. Bagi para kritikus, GMO sarat ketidakpastian dalam hal konsekuensi dari eksperimen radikal terhadap makhluk hidup.

Perusahaan-perusahaan Belanda merupakan yang terdepan dalam bisnis benih di dunia, dengan nilai ekspor hampir setara 22,5  triliun rupiah pada 2016. Namun, mereka tidak memasarkan produk GMO. Menurut Arjen van Tunen dari KeyGene, varietas benih baru di arena GMO Eropa yang memiliki peraturan yang sangat ketat, bisa menghabiskan biaya setara 1,3 triliun rupiah dan memerlukan 12 sampai 14 tahun penelitian dan pengembangan. Sebaliknya, prestasi terbaru dalam ilmu pengembangbiakan molekuler—yang tak melibatkan gen asing—bisa memberikan keuntungan luar biasa dalam waktu lima sampai 10 tahun, dengan biaya hanya setara 1,3 miliar rupiah dan jarang sekali lebih dari 13,3 miliar rupiah. Ini adalah turunan langsung dari metode yang digunakan petani di kawasan Bulan Sabit Subur 10.000 tahun yang lalu.

Katalog penjualan Rijk Zwaan, salah satu perusahaan budidaya di Belanda, menawarkan benih berdaya hasil tinggi di lebih dari 25 kelompok besar sayuran, yang kebanyakan bisa mempertahankan diri secara alami dari hama utama. Heleen Bos bertanggung jawab atas divisi organik perusahaan dan proyek pengembangan internasional. Satu benih tomat rumah kaca Rijk Zwaan yang berteknologi tinggi, dengan harga kurang dari 6.500 rupiah, diketahui dapat memberi hasil luar biasa sebanyak 70 kilogram tomat. Namun, dia malah berbicara tentang ratusan juta orang yang kekurangan makanan.

Seperti kebanyakan wiraswasta di berbagai perusahaan Food valley, Bos pernah bekerja di berbagai pertanian dan kota di sejumlah negara termiskin di dunia. Dengan pengalaman panjang di Mozambik, Nikaragua, dan Banglades selama 30 tahun terakhir, dia sadar bahwa kelaparan dan bencana kelaparan adalah ancaman nyata.

“Tentu saja, kami tidak bisa secepatnya menerapkan di sana pertanian berteknologi tinggi seperti yang Anda lihat di Belanda,” ujarnya. “Namun, kami siap memperkenalkan solusi berteknologi menengah yang bisa menghasilkan perubahan besar.” Dia menyebut tentang budidaya di rumah kaca yang terbuat dari plastik yang relatif murah dan bisa melipattigakan hasil panen sebagian tanaman pangan dibandingkan dengan yang dikembangbiakkan di lahan terbuka, yang tanamannya lebih rentan hama dan kekeringan.

Sejak 2008, Rijk Zwaan telah menyokong program budidaya di Tanzania di sebidang lahan percobaan seluas 20 hektare di kaki Gunung Kilimanjaro. Sejumlah proyek kerja sama sedang dijalankan di Kenya, Peru, dan Guatemala.