Polusi Cahaya Berbahaya Bagi Satwa Liar, Apa yang Harus Dilakukan?

By National Geographic Indonesia, Senin, 8 Juni 2020 | 10:25 WIB
Pemandangan langit di malam hari terganggu oleh polusi cahaya akibat penggunaan listrik yang tak ter (Ramadhani Putri Ayu/Fotokita.net)

Nationalgeographic.co.id - Saat musim dingin tiba, banyak penyu laut akan bersarang di pantai utara Australia.

Ketika tukik-tukik menetas saat malam hari, mereka menggunakan cahaya alami dan kelandaian pantai sebagai pemandu alami untuk merangkak dari pasir ke laut.

Tapi, ketika cahaya buatan mengalahkan terang bulan dan laut, mereka menjadi kehilangan arah. Ini membuat mereka sangat rentan terhadap predator, kelelahan, dan bahkan lalu lintas kendaraan ketika mereka mengambil jalan yang keliru.

Baca Juga: Saat Wabah Kolera Picu Pemerintah untuk Membangun Ruang Terbuka Hijau

Cerita tukik ini merupakan bagian kecil dari masalah lebih besar, tapi terlupakan, tentang bagaimana polusi cahaya berbahaya bagi satwa liar baik di daratan dan bawah laut.

Saat ini, lebih dari 80% manusia - dan 99% populasi Amerika Utara dan Eropa - tinggal di bawah langit yang terkena polusi cahaya.

Kita telah mengubah lingkungan saat malam hari demi bagian substansial dari permukaan Bumi untuk waktu singkat, dibandingkan dengan skala waktu evolusioner. Kebanyakan satwa liar tidak memiliki waktu untuk beradaptasi dengan perubahan ini.

Bulan Januari, Australia merilis panduan terkait polusi cahaya bagi satwa liar yaitu National Light Pollution Guidelines for Wildlife.

Panduan ini menyediakan kerangka kerja untuk mempelajari dan mengelola dampak dari cahaya buatan.

Selain itu, panduan ini mengidentifikasi solusi praktis yang bisa digunakan untuk kelola polusi cahaya secara global, bagi pengelola dan praktisi, dan siapapun yang memiliki akses pada tombol lampu.

Ada enam cara mudah dalam panduan ini yang bisa diikuti oleh siapa saja untuk meminimalisir polusi cahaya tanpa mengorbankan keselamatan kita.

Meskipun polusi cahaya merupakan masalah global dan kegelapan total sulit untuk diterima, kita masih bisa memegang peran untuk mengurangi dampak terhadap satwa liar dengan mengubah cara kita menggunakan atau berpkir tentang cahaya di malam hari.

1. Mulai dengan gelap alami. Hanya tambah lampu untuk kebutuhan tertentu

Gelap seharusnya wajar terjadi saat malam hari. Cahaya buatan hanya digunakan untuk kebutuhan tertentu, dan dinyalakan hanya pada rentang waktu tertentu.

Artinya, tidak masalah bila menyalakan lampu beranda untuk mencari kunci, tapi lampu ini tidak perlu menyala sepanjang malam.

Pencahayaan dalam ruangan juga bisa berkontribusi terhadap polusi cahaya, sehingga mematikan lampu di gedung-gedung yang kosong di malam hari, atau di rumah sebelum tidur, juga sangat penting.

2. Gunakan pengatur pencahayaan pintar

Perkembangan teknologi kontrol pintar memudahkan kita mengatur berapa banyak cahaya yang digunakan dan pengontrolan yang adaptif membuat tujuan dari Langkah 1 bisa tercapai.

Berinvestasi ke dalam teknologi pintar dan LED berarti kita bisa mengelola cahaya dari jarak jauh, menentukan pengatur waktu atau peredupan lampu, mengaktifkan pencahayaan berdasarkan sensor gerakan, dan bahkan mengatur cahaya lampu yang dikeluarkan.

Teknologi semacam ini bisa digunakan untuk cahaya buatan di malam hari ketika dibutuhkan dan meminimalisir cahaya ketika tidak dibutuhkan.

3. Pastikan cahaya dekat tanah, terarah dan terlindungi

Cahaya apapun yang bocor keluar dari area spesifik yang ingin diterangi merupakan cahaya yang tidak perlu.

Kebocoran cahaya ini berkontribusi langsung terhadap kilau langit buatan - kilau yang biasa kita lihat di area urban dari kumpulan sumber cahaya. Baik kilau angkasa dan cahaya bocor di permukaan bisa menganggu satwa liar.

Memasang pelindung cahaya membuat kita bisa mengarahkan cahaya ke bawah, yang akan mengurangi kilau langit secara signifikan, dan mengarahkan ke area yang menjadi target.

Pelindung cahaya direkomendasikan bagi semua pemasangan di luar ruangan.

4. Gunakan pencahayaan dengan intensitas terendah

Ketika memutuskan berapa cahaya yang dibutuhkan, pertimbangkan pula intensitas cahaya yang dikeluarkan (lumen), ketimbang berapa energi yang dibutuhkan (watt).

Contohnya, LED yang dianggap sebagai pilihan “ramah lingkungan” karena efisiensi energi. Tapi, karena efisiensi ini, LED menghasilkan cahaya dua dan lima kali lebih terang dari lampu bohlam untuk konsumsi energi yang sama.

Jadi, ketika lampu LED menyimpan energi, intensitas cahaya yang tinggi bisa memberikan dampak besar bagi satwa liar, apabila tidak dikelola dengan baik.

5. Gunakan permukaan yang tidak memantulkan cahaya, gelap

Kilau langit telah menutupi ritme cahaya bulan dari satwa liar, mengganggu navigasi perbintangan dan migrasi burung dan serangga.

Permukaan yang terlalu dipoles, mengkilat atau berwarna terang - seperti cat putih atau marmer yang dipoles - dapat memantulkan cahaya dan bisa berkontribusi terhadap kilau langit ketimbang permukaan yang lebih gelap, tidak memantulkan cahaya.

Memilih cat atau bahan material yang lebih gelap untuk luar ruangan bisa membantu menurunkan kontribusi kita terhadap polusi cahaya.

6. Gunakan cahaya dengan mengurangi filter atau berwarna biru, gelombang violet dan ultra-violet

Kebanyakan hewan sensitif terhadap cahaya gelombang pendek, yang menciptakan warna biru dan violet. Gelombang pendek ini dikenal bisa menekan produksi melatonin yang diketahui bisa menganggu tidur dan mengacaukan ritme sirkadian dari banyak hewan, termasuk manusia.

Baca Juga: Mikroplastik Ditemukan Pada Semua Burung Pemangsa yang Diteliti Ini

Memilih pencahayaan dengan sedikit atau bukan gelombang pendek (400-500 nanometer) violet atau biru membantu untuk menghindari dampak berbahaya bagi satwa liar.

Misalnya, lampu neon dan LED memiliki jumlah gelombang cahaya pendek lebih tinggi dibanding lampu sodium tekanan rendah atau tinggi, logam halida dan lampu halogen.

Fidelis Eka Satriastanti menerjemahkan artikel ini dari bahasa Inggris.

Penulis: Emily Fobert, Research Associate, Flinders University; Katherine Dafforn, Senior Lecturer in Environmental Sciences, Macquarie University, dan Mariana Mayer-Pinto, Senior Research Associate in marine ecology, UNSW

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.