Ketika Perang Dingin Memecah Korea Menjadi Dua

By Gita Laras Widyaningrum, Kamis, 18 Juni 2020 | 12:08 WIB
Garis batas di zona demiliterisasi Korea. (Kurita KAKU/Gamma-Rapho via Getty Image)

Nationalgeographic.co.id - Hubungan antara Korea Utara dan Selatan sedang berada dalam kondisi yang tidak baik. Pada Selasa (16/6/2020), Korea Utara meledakkan kantor penghubung dengan Korea Selatan yang berada di Kaesong. 

"Utara menghancurkan Kantor Penghubung Kaesong pada pukul 14.49," kata Kementerian Unifikasi Korsel kepada media, dilansir dari Kompas.com

Ketegangan antarkedua negara ini meningkat setelah aksi para pembelot dan anti-Korut yang kerap mengirim pamflet di perbatasan. Pamflet yang disebar melalui balon tersebut berisi kritik-kritik terhadap Kim Jong-Un, mulai dari pelanggaran HAM hingga nuklir. Selain itu, mereka juga kerap mengirim barang seperti USB berisi drama Korea Selatan dan uang pecahan 1 dollar. 

Aksi-aksi tersebut memicu kemarahan Korut. Sebelum meledakkan kantor penghubung, pemerintah negeri komunis itu telah mengumumkan rencana untuk memutus segala hubungan komunikasi dengan Korsel.

Baca Juga: Kematian George Floyd dan Sejarah Panjang Rasisme di Minneapolis

Peristiwa ini pun menandai babak baru dalam hubungan Korut-Korsel. Kondisi mereka sempat membaik, ditandai dengan pertemuan bersejarah antara Presiden Korea Selatan, Moon Jae-In, dan pemimpin Korea Utara, Kim Jong-Un, di Pamunjeom, Zona Demiliterisasi Korea (DMZ), pada April 2018 lalu. 

Kedua negara ini bahkan sepakat melakukan pawai bersama di Olimpiade Musim Dingin 2018 saat Korea Selatan menjadi tuan rumah. Mereka juga menggabungkan tim hoki es mereka atas nama “olimpiade perdamaian”. 

Meski begitu, fakta tersebut tidak mengubah bahwa negara ini telah terpisah dan berkonflik selama lebih dari 70 tahun. Ini bermula ketika semenanjung Korea menjadi korban dari meningkatnya Perang Dingin antara dua negara terkuat: yakni, Uni Soviet dan Amerika Serikat.

Satu Korea

Selama berabad-abad sebelum terpecah, semenanjung Korea menjadi satu dan dipimpin oleh dinasti kerajaan. Namun, saat dijajah Jepang (setelah perang Rusia-Jepang) pada 1905, Korea mengalami gejolak selama 35 tahun. Berlangsung sampai akhir Perang Dunia II, saat pembagian dua negara dimulai.

“Keputusan dibuat tanpa melibatkan orang-orang Korea. Hanya dari Uni Soviet dan Amerika Serikat. Mereka membagi Korea menjadi dua wilayah kependudukan,” papar Michael Robinson, profesor East Asian Studies and History di Indiana University.

Semenanjung Korea. (Filo/Getty Images)

Mengapa Korea terbagi?

Pada Agustus 1945, dua negara superpower tersebut, membagi kekuasaan atas Semenanjung Korea. Selama tiga tahun ke depan (1945-1948), tentara dan perwakilan Soviet, membangun rezim komunis di wilayah utara. Sementara di bagian selatan, pemerintah militer dibentuk–sepenuhnya didukung oleh Amerika Serikat.

Saat kebijakan Soviet ditujukan untuk para buruh dan petani, warga Korea kelas menengah terbang ke selatan. Di sana, rezim yang didukung Amerika Serikat jelas disukai oleh para antikomunis dan pendukung sayap kanan.

“Tujuan utamanya adalah membiarkan orang-orang Korea menyelesaikan sendiri masalahnya. Namun, Perang Dingin turut campur tangan….Dan segala sesuatu yang dicoba untuk menemukan jalan tengah untuk menyatukan kembali semenanjung itu digagalkan oleh Uni Soviet dan Amerika Serikat. Mereka tidak ingin menyerah satu sama lain,” papar Robinson.  

Syngman Rhee, Presiden Korea Selatan, bertemu dengan Jendral Matthew B. Ridgway. (Bettmann Archives/Getty Images)

Pada 1948, Amerika Serikat meminta PBB untuk menyelenggarakan pemungutan suara. Setelah utara menolak untuk berpartisipasi, pihak selatan membentuk pemerintahannya sendiri di Seoul–dipimpin oleh Syngman Rhee yang sangat antikomunis.

Tidak lama kemudian, utara mendirikan negara komunis dengan Kim Il Sung sebagai perdana menteri pertama. Ibu kotanya terletak di Pyongyang.

Perang Korea

Perang Korea (1950-1953) yang membunuh sekitar 2,5 juta orang, sedikit menjawab pertanyaan tentang rezim mana yang paling “mewakili” Korea. Yang pasti, Amerika Serikat menjadi musuh utama Korea Utara saat mereka membom desa dan kota-kota di utara semenanjung.

Perang tersebut meratakan Korea dan merusak setiap kota.

Gencatan senjata untuk mengakhiri konflik pada 1953, menyisakan negara yang semakin terpecah. Zona demiliterisasi (DMZ) lalu didirikan untuk membelah semenanjung Korea. Hingga saat ini, tidak ada perjanjian damai yang ditandangani. Secara teknis, kedua negara ini masih dalam status perang. 

Tidak seperti pemisahan negara era Perang Dingin lain, di zona perbatasan Korea Utara dan Selatan, hanya ada sedikit pergerakan.

Baca Juga: Mengapa Jimmy Carter Memerintahkan AS untuk Memboikot Olimpiade 1980?

Menurut Robinson, garis batas itu benar-benar tertutup rapat. Ini menjelaskan mengapa negara yang dulu pernah menjadi satu ini, memiliki sistem pemerintahan yang amat berbeda.

Melanjutkan hubungan dengan Amerika Serikat, Korea Selatan berhasil mengembangkan ekonomi yang kuat. Dalam beberapa dekade terakhir, negara gingseng ini yakin melangkah menuju negara demokratis.

Sementara itu, Korea Utara tetap menjadi negara terisolasi dengan perkembangan ekonomi yang rendah. Negara komunis ini dipimpin oleh satu keluarga selama tiga generasi.