Dari Stasiun Solo Balapan Sampai Istana, Menapaki Wangsa Mangkunegaran

By Gita Laras Widyaningrum, Sabtu, 27 Juni 2020 | 00:29 WIB
Prangwedanan di Puro Mangkunegaran. Di sinilah setiap pangeran yang akan menjadi Adipati Mangkunegara dilantik sebelum menempati takhta singgasana. (Alfonsus Aditya)

Nationalgeographic.co.id - National Geographic Indonesia dan Saya Pejalan Bijak, menyelenggarakan avontur daring #JelajahdariRumah pada Minggu, 21 Juni silam. Demi menuntaskan akhir pekan bersama, kami mengajak peserta untuk berkunjung ke Surakarta dan menapaki tilas Mangkunegara.

Alfonsus Aditya, penikmat budaya, memandu peserta avontur daring. Dia mengajak untuk mengenali jejak-jejak Mangkunegara—bagaimana wangsa ini turut memberikan sumbangsih bagi peradaban. Selain itu, kita juga dapat menyaksikan kisah-kisah hidup warganya. Bermula dari Stasiun Balapan, berikut rute yang kami tempuh:

Avontur Daring: Jejak-jejak Mangkunegara dipandu oleh Alfonsus Aditya, penikmat budaya asal Surakarta. (National Geographic Indonesia)

Stasiun Solo Balapan

Tempat pertama yang dikunjungi adalah Stasiun Solo Balapan atau yang terkenal dengan nama Het Centraal Station van Soerakarta saat zaman penjajahan Belanda. Ditemani oleh pemandu wisata lokal, Agung, Adit mengajak peserta virtual tour untuk melihat bangunan bersejarah ini melalui sebuah video.

“Atap tiga susun menjadi ciri khas Stasiun Balapan. Unsur Jawa-nya tidak bisa dilepaskan meski didesain pada era Belanda,” jelas Agung dalam video sambil menunjukkan bagian atas bangunan Stasiun Solo Balapan.

Ia memaparkan, stasiun ini dulunya merupakan alun-alun milik Mangkunegara, di mana terdapat sebuah pacuan kuda. Balapan yang identik dengan pacuan kuda pun akhirnya disematkan pada nama stasiun. 

Wilayah pembangunan stasiun ini menggunakan lahan milik Mangkunegara. Pembangunannya melalui dua tahapan penting yaitu pada era Mangkunegara IV pada sisi Selatan stasiun  yang dimulai pada tahun 1864 dan diresmikan pada tahun 1870. Kemudian, pada era Mangkunegara VII, Stasiun Solo Balapan direvitalitasi, tapi tetap mempertahankan kekhasan bangunannya. Mangkunegara VII mengundang Thomas Kaarsten, arsitek ternama kala itu yang juga sahabatnya, untuk melakukan pembangunan tahap dua pada sisi utara stasiun.

Jejak Solosche Radio Vereniging (SRV)

Raja Mangkunegara VII dikenal cerdas pada zamannya. Ia juga merupakan penikmat budaya yang luar biasa. Adit bercerita, Mangkunegara VII menganggap budaya Jawa merupakan adiluhung. Ia ingin budaya Jawa tidak dianggap remeh.

“Saat diundang ke Kerajaan Belanda, ia pun mengajak anaknya untuk menampilkan tarian Jawa,” katanya.

Keseriusan Mangkunegara VII untuk melestarikan budaya Jawa, membuatnya membentuk Java Insitituut. Ini kemudian menjadi cikal balak berdirinya Solosche Radio Vereninging (SRV). Radio ini tumbuh untuk menyebarkan pesan budaya Kepada masyarakat dengan pemutaran alunan musik-musik Jawa. Tidak hanya sampai disitu, radio ini pun berkembang pesat di seantero Nusantara dengan jumlah anggota kurang lebih 4.000 orang.