Dari Stasiun Solo Balapan Sampai Istana, Menapaki Wangsa Mangkunegaran

By Gita Laras Widyaningrum, Sabtu, 27 Juni 2020 | 00:29 WIB
Prangwedanan di Puro Mangkunegaran. Di sinilah setiap pangeran yang akan menjadi Adipati Mangkunegara dilantik sebelum menempati takhta singgasana. (Alfonsus Aditya)

Gedung SRV kini menjadi Radio Republik Indonesia (RRI).

Foto Mangkunegara VII menengok Pasar Legi, yang didirikan pada masa takhta Mangkunegara I. (Alfonsus Aditya)

Pasar Legi dan Masyarakatnya

Perjalanan selanjutnya, peserta diajak mengunjungi dan menyusuri lorong-lorong Pasar Legi—bertemu dengan beberapa penjual di sana. Dari video, kita bisa melihat bagaimana aktivitas di pasar.

“Bisa dibilang, Pasar Legi tidak pernah tidur. Datang jam berapa pun, selalu ada kegiatan,” kata Adit.

Meskipun Pasar Legi sudah rata dengan tanah karena kebakaran pada 2019 lalu, tapi para penjual tidak meninggalkan area tersebut. Mereka tetap berjualan di pinngir pasar. “Meski tidak ada bangunan, tapi semangatnya tetap terjaga,” imbuh Adit.

Agung, sang pemandu wisata pun menceritakan sejarah Pasar Legi yang tidak dapat dilepaskan oleh tradisi dan hitung-hitungan Jawa. Pasar ini awalnya hanya dibuka pada tanggalan Jawa yaitu Legi. Namun, dalam perkembangannya, ia menjadi wajah kehidupan 24 jam kota Surakarta.

Pasar ini hadir seiring berdirinya tahta Mangkunegaran. Mangkunegara I adalah raja yang mendirikan pasar ini.

“Didirikan pada era Mangkunegara I, kemudian berkembang. Kepemimpinan Mangkunegara 4 mulai dibangun dengan beton dan kemudian diperbaiki lagi di era Mangkunegara 7,” ungkap Agung.

Adit dan Agung melanjutkan perjalanan sambil berbincang dengan beberapa penjual yang sudah menempati pasar sejak 25 hingga 50 tahun lalu. 

Menurut Adit, pasar adalah gambaran terbaik untuk berkenalan pada suatu kota yang kita kunjungi. Mencoba meresapi semangat, rasa syukur, dan ketekunan dari setiap pedagang yang ada di dalamnya.

“Saya selalu senang ke pasar, makanya saya mengajak sahabat ke sini,” ungkapnya.