Nationalgeographic.co.id – Menjadi bagian dari budaya Nusantara selama lebih dari seribu tahun, kesenian wayang orang berevolusi mengikuti perkembangan zaman. Meski begitu, beradaptasi dan bertahan di tengah modernisasi tidak semudah membalik telapak tangan.
Dalam segmen #BerbagiCerita yang diselenggarakan pada Rabu 24 Juni 2020, National Geographic Indonesia, mencoba menggali riwayat wayang orang--dari awal kemunculannya hingga kondisinya saat ini yang menimbulkan pertanyaan: tragedi atau prestasi?
Menilik ke awal kemunculannya, Purnawan Andra, seniman tari, mengungkapkan bahwa sejarah wayang orang tidak lepas dari tarian. Cerita wayang sendiri ditemukan pertama kali pada abad ke-9, tergambarkan dalam sebuah prasasti.
“Dalam prasati tersebut, ada cerita tentang perayaan kerajaan yang diramaikan dengan pentas tari dan drama berdasarkan kisah Ramayana,” ungkap Andra yang menjadi pembicara dalam sesi #BerbagiCerita.
Selanjutnya, seiring berjalannya waktu, kisah-kisah itu mulai dituliskan pada daun lontar, ornamen-ornamen seperti relief candi, dan berkembang menjadi wayang kulit, wayang purwo dan wayang beber. Pada satu titik, wayang pun tidak hanya berbentuk dua dimensi, tapi kemudian dihadirkan dalam wujud sosok manusia.
Baca Juga: Semasa Hidup, Tjokroaminoto Gemar Memerankan Wayang Orang Hanoman
Andra menjelaskan, wayang orang terbentuk pada akhir abad ke-19, ketika pemisahan Mataram terjadi. Menurut catatan sejarah, wayang orang pertama kali dipentaskan di Yogyakarta pada era Hamengkubuwono I, disusul oleh Mangkunegara tak lama kemudian. Kedua kerajaan ini menampilkan kisah yang sama, yakni tentang Arjuna.
“Di balik pemilihan cerita tentang Arjuna ini, ada narasi menarik di baliknya. Kita tahu pada zaman itu ada peperangan antara Raden Mas Said dan Pangeran Mangkubumi, mereka sama-sama mengidentifikasi diri pada konsep nilai yang mengacu kepada Arjuna,” papar Andra.
“Dilihat dari asal katanya, wayang itu berarti bayangan. Namun, tidak sekadar menjadi bayangan, kesenian ini menyimpan berbagai simbolisasi. Kita tahu dari Ramayana dan Mahabrata yang menginspirasi cerita, ada banyak nilai-nilai yang dapat dijadikan refleksi,” imbuhnya.
Di pendopo istana, wayang orang dipentaskan dari pagi hingga malam. Kesenian ini pun terus dilestarikan oleh para raja dan keturunan-keturunannya. Namun, pada era Mangkunegara V dan VI, wayang orang tidak hanya menjadi simbol budaya kerajaan, tapi juga mengikat pada satu komponen masyarakat yang lebih luas.
Ada penyesuaian-penyesuaian yang dilakukan pada masa ini. Waktu pementasan yang tadinya 6-8 jam, dipadatkan menjadi 4-6 jam. “Ini merupakan hal penting. Ada tradisi yang ‘ditabrak’, tapi di sisi lain juga menunjukkan kreasi yang dilakukan seorang raja untuk meluaskan nilai-nilai yang ada dalam wayang,” kata Andra.