Riwayat Wayang Orang yang Melampaui Zaman: Tragedi atau Prestasi?

By Gita Laras Widyaningrum, Kamis, 25 Juni 2020 | 14:44 WIB
Anak-anak berbusana tokoh-tokoh dalam wayang orang pada akhir abad ke-19. Kassian Cephas memotretnya di Yogyakarta sekitar 1890. (Kassian Chepas/Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde)

Ketika harga gula turun, kondisi keuangan kerajaan pun mengalami kesulitan. Ini berpengaruh pada seniman wayang orang dan membuat raja membuat kebijakan baru. Jika sebelumnya wayang orang hanya dilakukan oleh kaum bangsawan, kini boleh dipentaskan oleh masyarakat umum.

Gan Kam, seorang pengusaha Cina di Surakarta, berinisiatif merengkuh para seniman wayang dengan bentuk pementasan komersial. Pertunjukkan dilakukan di luar istana dengan tata panggung ala Eropa—siapa pun yang ingin melihatnya, harus membayar dengan harga tertentu. Salah seorang pengusaha Belanda di kota itu juga mengusulkan penyesuaian beberapa kisah wayang.

Perkembangan selanjutnya ini pada akhirnya menciptakan tokoh-tokoh penting dalam wayang orang yang kemudian dikenal secara nasional. Mereka bahkan dijadikan penari di istana kepresidenan.

“Ini menarik ketika keluar dari istana dan menjadi hiburan masyarakat luas, wayang orang pun diakui oleh negara. Presiden Soekarno menempatkan tokoh-tokoh wayang orang sebagai penari istana,” papar Andra.

Pemain wayang orang saat pentas di Gedung Wayang Orang Bharata Jl. Kalilio 15, Senen, Jakarta Pusat. (Yunaidi)

Wayang orang tidak lagi berpusat pada Yogyakarta dan Solo, senimannya pun tersebar di beberapa kota di Indonesia. Teguh Ampiranto, seniman Wayang Orang Bharata, mengatakan, bahwa ada puluhan kelompok wayang orang yang eksis di kota besar seperti di Jakarta pada masa itu. Di daerah lain, mungkin jumlahnya mencapai ratusan.

Namun, dengan semakin berkembangnya teknologi seperti munculnya televisi, akhirnya grup-grup wayang ini pun gulung tikar. Mereka yang bertahan kemudian bergabung pada kelompok Wayang Orang Bharata yang dibentuk pada 1972.

Perjuangan seniman wayang orang, tidak berhenti di sana. Kondisi pementasan wayang orang naik turun, dari yang tadinya bisa tampil setiap hari, menjadi seminggu sekali.

“Penonton pun berkurang dari waktu ke waktu hingga akhirnya sulit untuk mengadakan pertunjukkan setiap hari,” cerita Teguh atau yang biasa dipanggil Kenthus.

Kondisi seperti itu pun memaksa Kenthus dan rekan-rekannya memutar otak bagaimana wayang orang bisa diterima di setiap era. Kenthus merasa, jika terus melakukan konsep pagelaran wayang seperti yang biasa dilakukan para pendahulu—yakni yang membutuhkan waktu 4-5 jam—maka akan sulit bertahan mengingat munculnya beragam jenis tontonan lainnya yang lebih singkat.

Sekitar tahun 1993, Kenthus pun mulai mengubah konsep pertunjukkan dengan durasi 1,5 jam—tentunya setelah mendapat izin dari para senior.

“Kita bisa kok menampilkan wayang orang 1,5 jam, tanpa mengurangi intisari dan kesakralan cerita wayang orang itu sendiri. Ini dilakukan agar penonton tidak gelisah saat menonton pertunjukkan karena waktunya terlalu lama,” papar Kenthus.