Ney Dinan: Jangan Sebut Tenun Manggarai Sebagai Tenun Labuan Bajo!

By Agni Malagina, Jumat, 24 Juli 2020 | 09:53 WIB
Henny Dinan memperlihatkan tenun songke Manggarai hasil karya penenun dari wilayah Cibal di Rumah Tenun Baku Peduli, Labuan Bajo. (Sigit Pamungkas)

"Tiga dekade pengetahuan warna alam hilang. Benang tekstil masuk tahun 1981. Benang pintal yang dulu banyak diproduksi di Enda pun berkurang. Dulu Manggarai dapat benang pintal dari Ende. Namun, ingatan pengetahuan warna alam itu masih kuat! Ayah saya juga masih ingat! Maka, 2019 commit menggunakan warna alam," tegas Ney.

"Di Manggarai ini ada yang terputus. Tak hanya karena pengaruh benang tekstil, ada pengaruh gaya hidup instan. Ada nilai penting yang mulai hilang, juga gaya pembeli. Nah, kita mulai terusik ketika ada pembeli yang bertanya tentang kain warna alam," tutur Ney.

Dia mengisahkan bahwa pada 2015 sekelompok relawan dan akademisi datang untuk memberikan ide bahwa kekayaan tenun bukan hanya untuk dijual namun ada kisah yang penting disebarluaskan. Akhirnya, Rumah Tenun Baku Peduli pun menata ruang khusus untuk menenun, menampilkan kain, dan untuk menjual tenunnya. 

Lebih lanjut ia mengisahkan kepercayaan orang Manggarai tentang penggunaan pewarna alam. "Bahan pewarna itu kan obat-obatan. Contoh daun tarum (indigo). Itu untuk obat kulit dan alergi. Jaman dulu masyarakat pakai sarung diwarnai sendiri. Kalau anak demam, dibungkus dengan sarung itu dan sembuh. Masyarakat percaya itu."

“Ini misi yang besar, menjaga alam Manggarai itu adalah menjaga kebudayaan Manggarai. Jika kebudayaan kita ingin tetap eksis, mari kita jaga alam Manggarai,” ujarnya.

Baca Juga: Keindahan Wae Rebo, Desa di Tengah Pegunungan

Lahan pertanian organik di area kebun rumah komunitas Baku Peduli. Rumah tersebut memiliki fasilitas ruang kegiatan komunitas, perpustakaan, warung kopi hasil kebun petani kopi Manggarai, workshop tenun dan homestay. (Sigt Pamungkas)

Ada penyebutan istilah tenun yang menjadi perhatian Ney.

”Ada buku yang terbit itu sebut nama tenun Labuan Bajo. Secara kebudayaan tidak ada itu tenun Labuan Bajo. Merujuk geografi, ada tenun songke atau tenun Todo, merujuk ke budaya tenun dan geografinya,” tambah Ney.

Dia juga menunjukkan perhatiannya pada maraknya ‘penjiplakan’ motif-motif tenun NTT menjadi printing.

“Tenun itu benda sakral. Orang Flores pasti akan menggunakan tenunan tangan, kalau tidak maka ia mengingkari identitas ke-Floresan-nya, identitas ke-Manggaraian-nya ketika ia menggunakan tenunan-tenunan tekstil printing,” ungkap Ney.

Karakter motif tenun songke pun berbeda dengan tenun ikat. Lebih lanjut ia menunjukkan bahwa kain tenun Manggarai dan Manggarai Barat memiliki proses pembuatan rumit dan panjang mulai dari pintal benang hingga kain siap dipasarkan. "Makanya harganya pasti mahal, di atas lima juta rupiah. Motifnya macam-macam. Ada mata manuk disebut 'libo', bunga mekar 'bengkar', juga ada motif uang 'ringgit'. Ini uang ringgit masih ada jadi aksesori untuk sarung," ungkap Ney.