Ney Dinan: Jangan Sebut Tenun Manggarai Sebagai Tenun Labuan Bajo!

By Agni Malagina, Jumat, 24 Juli 2020 | 09:53 WIB
Henny Dinan memperlihatkan tenun songke Manggarai hasil karya penenun dari wilayah Cibal di Rumah Tenun Baku Peduli, Labuan Bajo. (Sigit Pamungkas)

Motif-motif sarung songke tidak terlepas dari keseharian orang Manggarai, demikian ungkapnya. "Motifnya datang dari dunia pertanian seperti dari sistem pertanian yang namanya 'lodok' atau pembagian tanah. Kawasannya namanya 'lingko'. Ini dipakai juga di songke, 'libo' misalnya berasal dari kolam mata air yang biasanya ada di lahan pertanian."

"Jadi hubungan orang Manggarai dengan tenun dan dunia pertanian itu erat," jelas Ney sambil memperlihat cara memakai sarung. "Kalau di Manggarai tidak ada pembeda, sarung bisa dipakai perempuan dan laki-laki. Kalau di daerah lain ada yang membedakan. Budaya sarung ada di Manggarai, Nagekeo dan Maumere, sarung songke ya."

“Kalau di wilayah lain, motif-motif tenun ikat yang menjadi hak kepemilikan keluarga, jadi ada motif-motif warisan. Di Manggarai seperti itu hampir tidak ada. Belum ada literatur bahwa motif ini merujuk ke keluarga tertentu. Sepertinya sudah saatnya tiga kabupaten ini memproteksi motif kainnya secara bersama-sama. Kita sedang melawan industri raksasa, jadi ini kerja bersama bukan didelegasikan ke perorangan,” jelas Ney.

Baca Juga: Gunung Api Purba yang Menuntaskan Dahaga

Ruang sanggar kerja tenun Manggarai di Rumah Tenun Baku Peduli. (Sigit Pamungkas)

“Banyak akademisi peneliti sudah mengambil banyak dari kami, maka harapan kami, kembalikan pengetahuan itu pada kami,” tegasnya.

Ya, selembar kain tenun songke dan tenun ikat bagi masyarakat di Flores dan Nusa Tenggara Timur pada umumnya bukan perkara selembar kain. Kain tenun bagi mereka adalah indentitas budaya.

Apa harta karun paling berharga milik keluarga-keluarga di Flores? Bagi mereka, barangkali bukanlah emas atau berlian, melainkan kain tenun ikatnya. Di lembaran kain-kain tenun itu leluhur mereka menitiskan rajah kebanggaan, kekuatan, keberanian, dan keselamatan. Ada cerita kehidupan silam dan status sosial di setiap lembarnya.

Kini, kepunahan menjadi ancaman bagi corak-corak tenun baik songke maupun ikat di Flores. Tidak banyak perempuan muda yang bisa menenun. Padahal, dahulu, perempuan yang memiliki kemampuan menenun dianggap telah mencapai dewasaan—kematangan berpikir dan mental. Selembar kain tenun adalah jatidiri budaya, apa jadinya apabila tidak ada lagi yang menenun? Siapa yang akan melanjutkan pesan-pesan leluhur.

Selain perkara regenarasi, kebanyakan rumah tenun menggunakan pewarna sintetis yang tidak ramah lingkungan. Tuntutan kecepatan produksi telah menyeret rumah-rumah tenun dalam pusaran pewarna buatan.

Ini lebih dari sekadar emas dan berlian. Ini kain tenun, harta karun Flores.