Nationalgeographic.co.id—Siang hari di Rumah Tenun Baku Peduli yang terasa sejuk. Label panas terik wilayah pesisir Labuan Bajo seolah patah oleh semilir angin dan pemandangan warna hijau persawahan tempat komunitas Baku Peduli bergiat dan bercocok tanam.
Sejatinya Rumah Baku Peduli berawal di Labuan Bajo pada 2011. Komunitas ini merupakan kelanjutan dari pusat kegiatan komunitas di Aceh (2006) yang kemudian pindah ke Timor. Mereka bertumpu pada kegiatan pendampingan pertanian organik, radio komunitas dan lainnya.
Pada 2016 komunitas ini mendirikan 'youth centre' yang berbentuk Rumah Kreasi. Bergerak di berbagai hal seperti pelatihan jurnalistik, pendidikan, dan lainnya. Komunitas mereka menginisiasi aneka kegiatan festival komunitas dan bersinergi dengan komunitas lainnya. Kini, Rumah Tenun Baku Peduli berlokasi di Jalan Trans Flores KM 10, Watu Langkas Nggorang, Kecamatan Komodo.
Ney, nama lengkapnya adalah Henny Dinan. Ia penggiat tenun songke di Rumah Baku Peduli sejak 2010. Ia bergiat dengan 70 orang penenun kain songke pewarna alami di Kabupaten Manggarai. Saat ini ia bersama mama-mama penenun kain songke Manggarai bergulat dengan isu pelestarian wastra dan lingkungan. Selain menggiatkan kreasi tenun dengan motif khas Manggarai, kini Ney bergiat dalam penggunaan benang kapas dan pewarna alami. Dia banyak berguru dari komunitas tenun di Sumba.
Baca Juga: Labuan Bajo Tak Hanya Komodo, Ada Aroma Juria Mengguncang Dunia
“Benang polyester itu tidak ramah lingkungan. Kain dengan benang tekstil pewarna tekstil punya pelepasan karbon tinggi, maka jejak karbon pun menjadi perhatian kami. Demikian pula pewarna tekstil. Kami coba pewarna alami untuk kebaikan lingkungan dan manusia. Warna alami itu tradisi,” ujar Ney.
Tenun merupakan tradisi kuna milik ras Melayu Polenisia sejak zaman purba. Fakta ini disebutkan oleh Martine Tonnet dalam buku “Oude vormen in nieuwe Nederlandsch-Indische kunts” (1907). Pemaparan itu dikutip oleh J.E. Jasper dan Mas Pirngandie dalam buku De Inlandsche Kuntsnijverheid in Nederlandsche Indie II. De Weef Kunts(1912). Kata ‘songke’ yang digunakan di Manggarai Flores dan Bima di Sumbawa ini berasal dari Bahasa Melayu ‘Songket’.
Terdapat beberapa padanan penyebutan songket di daerah lain seperti songket di Jawa dan Bali, jongkit di Batak Karo, dan lainnya. Judi Achjadi menelisiknya lebih lanjut dalam bukunya Floating Threads Indonesian Songket and Similar Weaving Traditions yang terbit pada 2015. Songket merupakan teknik menenun dengan benang emas, menggunakan teknik pakan tambahan.
Sehelai benang (tambahan) dari jenis dan warna lain dimasukkan ke tenunan. Setelah setiap pakan melewati lungsi, sehelai pakan tambahan dimasukkan. Pakan tambahan itu seakan-akan mengapung di atas dan di bawah sejumlah lungsi. Teknik ini disebut sama dengan pembuatan kain brokat. Desainnya kebanyakan berupa ragam hias geometris. Teknik songket ini tersebar luas dari Sumatra, Jawa, Bali, Lombok, Sumbawa, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan, Sulawesi, Maluku hingga Papua.
Songke dalam bentuk sarung di Manggarai menurut Judi Achjadi diperkenalkan oleh orang Bugis asal Sulawesi Selatan. Utamanya di daerah Manggarai dan Ngada, diseput Lipa—adopsi dari bahasa Bugis. Tenun songke banyak berkembang di wilayah pesisir utara Flores. Teknik dan motif tenun ‘lipa songke’ Manggarai ini sama dengan kain dari Bima di Sumbawa. Kedua daerah ini merupakan wilayah tributari Kerajaan Gowa Tallo (1300-1960). ‘Lipa songke’ Manggarai Barat ini dahulu memiliki kekhasan dengan penggunaan benang kapas pintal dan warna alami biru indigo yang kini telah berganti menjadi benang tekstil. Kisah-kisah kain tenun songke Manggarai ini pun mulai terlupakan. Henny Dinan dan komunitas Rumah Tenun Baku Peduli mulai menginisiasi serangkaian kegiatan pendokumentasian narasi kain songke Manggarai.
Baca Juga: Sedapkan Manggarai: Cengkerama Kuliner dan Masyarakat Labuan Bajo
“Kami fokus pada pelesatarian dan pengembangan tenun NTT. Dua tahun terakhir ini mulai menggali lagi dan mendokumentasikan narasi ingatan kolektif dari para penenun dan keluarganya yang dulu memproduksi benang pintal dan songke pewarna alam,” ujar Nay yang menyebutkan bahwa satu tahun belakangan ini mereka mulai memproduksi tenun pewarna alam berdasarkan narasi tersebut. Ia menegaskan bahwa motivasi penggunaan warna alami adalah cara untuk memperbaiki dan merekatkan hubungan yang telah rusak antara manusia, alam dan budaya.
"Tiga dekade pengetahuan warna alam hilang. Benang tekstil masuk tahun 1981. Benang pintal yang dulu banyak diproduksi di Enda pun berkurang. Dulu Manggarai dapat benang pintal dari Ende. Namun, ingatan pengetahuan warna alam itu masih kuat! Ayah saya juga masih ingat! Maka, 2019 commit menggunakan warna alam," tegas Ney.
"Di Manggarai ini ada yang terputus. Tak hanya karena pengaruh benang tekstil, ada pengaruh gaya hidup instan. Ada nilai penting yang mulai hilang, juga gaya pembeli. Nah, kita mulai terusik ketika ada pembeli yang bertanya tentang kain warna alam," tutur Ney.
Dia mengisahkan bahwa pada 2015 sekelompok relawan dan akademisi datang untuk memberikan ide bahwa kekayaan tenun bukan hanya untuk dijual namun ada kisah yang penting disebarluaskan. Akhirnya, Rumah Tenun Baku Peduli pun menata ruang khusus untuk menenun, menampilkan kain, dan untuk menjual tenunnya.
Lebih lanjut ia mengisahkan kepercayaan orang Manggarai tentang penggunaan pewarna alam. "Bahan pewarna itu kan obat-obatan. Contoh daun tarum (indigo). Itu untuk obat kulit dan alergi. Jaman dulu masyarakat pakai sarung diwarnai sendiri. Kalau anak demam, dibungkus dengan sarung itu dan sembuh. Masyarakat percaya itu."
“Ini misi yang besar, menjaga alam Manggarai itu adalah menjaga kebudayaan Manggarai. Jika kebudayaan kita ingin tetap eksis, mari kita jaga alam Manggarai,” ujarnya.
Baca Juga: Keindahan Wae Rebo, Desa di Tengah Pegunungan
Ada penyebutan istilah tenun yang menjadi perhatian Ney.
”Ada buku yang terbit itu sebut nama tenun Labuan Bajo. Secara kebudayaan tidak ada itu tenun Labuan Bajo. Merujuk geografi, ada tenun songke atau tenun Todo, merujuk ke budaya tenun dan geografinya,” tambah Ney.
Dia juga menunjukkan perhatiannya pada maraknya ‘penjiplakan’ motif-motif tenun NTT menjadi printing.
“Tenun itu benda sakral. Orang Flores pasti akan menggunakan tenunan tangan, kalau tidak maka ia mengingkari identitas ke-Floresan-nya, identitas ke-Manggaraian-nya ketika ia menggunakan tenunan-tenunan tekstil printing,” ungkap Ney.
Karakter motif tenun songke pun berbeda dengan tenun ikat. Lebih lanjut ia menunjukkan bahwa kain tenun Manggarai dan Manggarai Barat memiliki proses pembuatan rumit dan panjang mulai dari pintal benang hingga kain siap dipasarkan. "Makanya harganya pasti mahal, di atas lima juta rupiah. Motifnya macam-macam. Ada mata manuk disebut 'libo', bunga mekar 'bengkar', juga ada motif uang 'ringgit'. Ini uang ringgit masih ada jadi aksesori untuk sarung," ungkap Ney.
Motif-motif sarung songke tidak terlepas dari keseharian orang Manggarai, demikian ungkapnya. "Motifnya datang dari dunia pertanian seperti dari sistem pertanian yang namanya 'lodok' atau pembagian tanah. Kawasannya namanya 'lingko'. Ini dipakai juga di songke, 'libo' misalnya berasal dari kolam mata air yang biasanya ada di lahan pertanian."
"Jadi hubungan orang Manggarai dengan tenun dan dunia pertanian itu erat," jelas Ney sambil memperlihat cara memakai sarung. "Kalau di Manggarai tidak ada pembeda, sarung bisa dipakai perempuan dan laki-laki. Kalau di daerah lain ada yang membedakan. Budaya sarung ada di Manggarai, Nagekeo dan Maumere, sarung songke ya."
“Kalau di wilayah lain, motif-motif tenun ikat yang menjadi hak kepemilikan keluarga, jadi ada motif-motif warisan. Di Manggarai seperti itu hampir tidak ada. Belum ada literatur bahwa motif ini merujuk ke keluarga tertentu. Sepertinya sudah saatnya tiga kabupaten ini memproteksi motif kainnya secara bersama-sama. Kita sedang melawan industri raksasa, jadi ini kerja bersama bukan didelegasikan ke perorangan,” jelas Ney.
Baca Juga: Gunung Api Purba yang Menuntaskan Dahaga
“Banyak akademisi peneliti sudah mengambil banyak dari kami, maka harapan kami, kembalikan pengetahuan itu pada kami,” tegasnya.
Ya, selembar kain tenun songke dan tenun ikat bagi masyarakat di Flores dan Nusa Tenggara Timur pada umumnya bukan perkara selembar kain. Kain tenun bagi mereka adalah indentitas budaya.
Apa harta karun paling berharga milik keluarga-keluarga di Flores? Bagi mereka, barangkali bukanlah emas atau berlian, melainkan kain tenun ikatnya. Di lembaran kain-kain tenun itu leluhur mereka menitiskan rajah kebanggaan, kekuatan, keberanian, dan keselamatan. Ada cerita kehidupan silam dan status sosial di setiap lembarnya.
Kini, kepunahan menjadi ancaman bagi corak-corak tenun baik songke maupun ikat di Flores. Tidak banyak perempuan muda yang bisa menenun. Padahal, dahulu, perempuan yang memiliki kemampuan menenun dianggap telah mencapai dewasaan—kematangan berpikir dan mental. Selembar kain tenun adalah jatidiri budaya, apa jadinya apabila tidak ada lagi yang menenun? Siapa yang akan melanjutkan pesan-pesan leluhur.
Selain perkara regenarasi, kebanyakan rumah tenun menggunakan pewarna sintetis yang tidak ramah lingkungan. Tuntutan kecepatan produksi telah menyeret rumah-rumah tenun dalam pusaran pewarna buatan.
Ini lebih dari sekadar emas dan berlian. Ini kain tenun, harta karun Flores.