Saya Pilih Bumi: Mengapa COVID-19 Sangat Berdampak Bagi Lingkungan?

By Gita Laras Widyaningrum, Senin, 20 Juli 2020 | 11:00 WIB
Ilustrasi polusi udara. (AlxeyPnferov/Getty Images/iStockphoto)

Nationalgeographic.co.id – Banyak orang mengatakan pandemi COVID-19 “baik bagi lingkungan”. Mereka mengungkapkan bahwa alam sedang menyembuhkan dirinya sendiri ketika manusia berdiam diri di rumah. Namun, manfaatnya mungkin hanya bisa kita rasakan di awal, mulai dari udara yang lebih bersih hingga kicauan burung yang terdengar ketika suara mobil dan pesawat tidak ada.

Kini, dengan ‘relaksasi’ karantina wilayah, para ahli khawatir kondisi Bumi akan kembali seperti semula, atau bahkan lebih parah. Mungkin akan muncul lebih banyak kemacetan, polusi udara, dan perubahan iklim yang memburuk. Memang terlalu dini untuk mengetahui apakah skenario suram itu akan terjadi, tapi tanda-tanda yang memprihatikan sudah terlihat di beberapa negara.

Baca Juga: Sains Ancala, Bagaimana Kita Bersikap dan Belajar pada Gunung?

Pada awal April, dengan adanya karantina wilayah, emisi karbon menurun sebanyak 17% dibandingkan dengan tahun lalu. Namun, pada 11 Juni, data terbaru menunjukkan bahwa itu hanya lebih rendah 5% di waktu yang sama pada tahun lalu—padahal aktivitas normal belum berfungsi sepenuhnya.

“Kita masih memiliki jumlah mobil, jalanan, industri, dan rumah yang sama,” kata Corinne Le Quéré, pemimpin penelitian sekaligus profesor perubahan iklim dari University of East Anglia.

“Oleh sebab itu, saat karantina wilayah dilonggarkan, kita akan kembali ke seperti semula,” paparnya.

Polusi udara. (voaindonesia.com)

Ia menambahkan, saat ini ‘risikonya sangat tinggi’—emisi karbon dapat melonjak melewati angka prapandemi. Diketahui bahwa selama krisis keuangan 2007-08, emisi di Bumi sempat menurun, tapi kemudian bangkit kembali.

Contoh dari Tiongkok

Tiongkok menjadi negara pertama yang menerapkan lockdown ketika virus corona mulai menyerang. Namun, ia juga menjadi negara pertama yang pertama kali melonggarkan kebijakan karantina wilayah.

Perbaikan kualitas udara yang terjadi saat pabrik-pabrik ditutup dan transportasi dihentikan pada Februari dan Maret lalu, kini telah menghilang.

Saat banyak pabrik berusaha ‘membayar’ waktu yang terbuang saat karantina wilayah, polusi udara di negara tersebut pun kembali seperti saat sebelum pandemi.

Paparan partikel polusi udara dapat menurunkan fungsi otak. (Jaroslav Moravcik/Fotolia)

Selain itu, menurut Lauri Myllyvirta, kepala analis di Center for Research on Energy and Clean Air yang melaporkan data polusi di Tiongkok, para pejabat provinsi yang putus asa berusaha meningkatkan kembali ekonomi dengan memberikan lampu hijau untuk membangun pembangkit listrik tenaga batu bara yang baru. Tindakan tersebut akan memberikan masalah tambahan pada kesehatan dan iklim Bumi di masa depan. Sebab, mesin industri seperti itu akan digunakan selama bertahun-tahun.

Kekhawatiran lainnya adalah kemacetan. Myllyvirta mengatakan, kemacetan di Tiongkok telah kembali seperti sebelum pandemi, padahal belum semua penduduk melakukan perjalanan.

Hutan Amazon paling terdampak

Di Brasil, penebang liar telah meningkatkan aksi mereka untuk merusak hutan hujan Amazon saat virus corona menyerang negara tersebut.

Menurut data satelit dari INPE, sekitar 64% lahan di sana telah ditebang lebih banyak dibanding April 2019. Padahal sebelumnya, 2019 menjadi tahun dengan deforestasi terburuk dalam satu dekade.

Menurut INPE, ada 73.000 kebakaran yang terjadi di Amazon. (Reuters)

“Ini seperti Anda dapat melakukan apa pun yang diinginkan di Amazon dan tidak akan dihukum,” kata Ane Alencar, direktur sains di IPAM Amazonia, sebuah organisasi nirlaba ilmiah.

Vegetasi hutan yang telah ditebang kemungkinan akan menjadi pusat kebakaran pada Juli, saat musim panas. Dan asap tebal yang dihasilkan dari kebakaran tersebut akan menyebabkan masalah kesehatan pada jantung dan paru-paru.

Prioritas pemimpin

Dengan adanya pandemi COVID-19, prioritas para pemimpin dunia mungkin akan berubah. Asa Persson, direktur penelitian di Stockholm Environment Institute mengatakan, urgensi krisis kesehatan dan ekonomi akan mengalihkan perhatian mereka dari upaya perlambatan perubahan iklim.

Baca Juga: Aksi Pembersihan Laut Terbesar Berhasil Kumpulkan 100 Ton Sampah Plastik

“Seperti apa prioritas mereka?”, kata Persson.

“Apakah pemerintah berupaya menopang perekonomian dengan memperkuat industri-industri agar lebih ramah lingkungan dan menggunakan dana pemulihan untuk mendukung sektor energi yang ‘bersih dan efisien’?”, imbuhnya.

Mengalokasikan cara tersebut dapat menggerakkan dunia menuju masa depan rendah karbon, juga mengatasi kesenjangan ekonomi yang ditimbulkan oleh pandemi. Strategi tersebut mungkin akan lebih berhasil bagi lingkungan dibanding pengurangan emisi dalam beberapa bulan selama karantina wilayah.