Editorial Edisi Agustus 2020: Relik Suram Pascaperang Asia Timur Raya

By Mahandis Yoanata Thamrin, Selasa, 28 Juli 2020 | 13:05 WIB
Kondom Totsugeki Ichiban diproduksi oleh perusahaan Okamoto, yang memonopoli bisnis kondom selama perang Asia Timur Raya. (The Historical Museum of Sexual Slavery by the Japanese Military South Korea)

Nationalgeographic.co.id—Lebih sepuluh tahun silam saya tertarik tentang selter atau bungker antiserangan udara yang dibangun militer Jepang. Saya pernah menyisir pantai selatan Jawa Tengah dan beberapa kota pesisir di Sumatra, seperti Bengkulu dan Palembang.

Beruntung, saya masih bisa berbincang dengan warga yang dahulu turut membangunnya di perbukitan pesisir Jawa. Tentara Jepang yang bertugas di Indonesia selama perang sekitar 260 ribu personel. Bangunan beton itu bagian relik pendudukan Jepang yang singkat.

Banyak memoar atau catatan harian tentang Perang Asia Timur Raya. Kisah jalannya pertempuran dan pengakuan saksi mata pada masa pendudukan Jepang ditulis dan didiskusikan dalam forum internasional hingga komunitas kota. Namun, sedikit yang mendiskusikan tentang korban perang—khususnya untuk perempuan.

Baca Juga: Kesaksian Tjamboek Berdoeri: Dari Muslihat Propaganda Jepang Sampai “Salam Djempol” di Jawa

Pada edisi Agustus 2020, EkaHindra membingkiskan kisah berjudul “Nona Djawa” tentang nasib akhir para penyintas “ianfu”. Kami sengaja menyajikan judul dengan ejaan lama. Pertama, mengingatkan bahwa ejaan masa itu seperti dalam iklan rekrutmen 'ianfu'. Kedua, untuk mengungkapkan ke publik bahwa korban terbesar praktik 'ianfu' di Indonesia berasal dari pulau Jawa.

Kami juga menyertakan peta sebaran ianjo di Asia Pasifik selama 1931-1945. Ianjo adalah rumah atau kamp untuk praktik perbudakan seksual oleh tentara Jepang pada masa Perang Asia Timur Raya, bertumpu pada Undang-undang Mobilisasi Umum Nasional 1932. Mereka juga memobilisasi para perempuan Cina, Korea, Taiwan sampai ke Indonesia.

Kisah feature ini mendapatkan apresiasi sebagai salah satu Best Edit untuk edisi Agustus dari induk kami di Washington, DC. “Kisah feature dengan foto-foto yang mencekam oleh Rahmad Azhar Hutomo telah mencatat beberapa korban yang masih tersisa,” kata Darren Smith selaku Deputy Editorial Director untuk edisi internasional. Darren juga menambahkan bahwa kisah ini memiliki “fotografi yang kuat dan pendekatan hitam putih membantu menyampaikan rasa sedih dan kehilangan.”

Baca Juga: Berhasil Lepas dari Jugun Ianfu Karena Menyamar Sebagai Lelaki

Sampul National Geographic Indonesia edisi Agustus 2020. Ronasih, 81 tahun, berpose untuk difoto di samping rumahnya. Saat usia remaja, dia diculik tentara Jepang untuk dijadikan ianfu (pemuas kebutuhan seksual). Foto oleh Rahmad Azhar Hutomo, fotografer National Geographic Indonesia. (National Geographic Indonesia)

National Geographic Indonesia menerbitkan kisah ini bertepatan dengan peringatan Hari Ianfu Internasional. Sebagai peneliti “ianfu” selama lebih dari dua dasawarsa, EkaHindra memiliki catatan melimpah tentang perjumpaan-perjumpaannya dengan para penyintas. Kisah ini menampilkan secuil penyintas yang menjadi bagian dalam penelitiannya.

Dia mengungkapkan bahwa sejatinya isu mengenai “ianfu” sudah mulai "terkuak sejak 1971, atas investigasi Senda Kako, jurnalis Mainichi Shimbun.” Ketika berita itu mencuat, banyak pihak yang menolak hasil investigasi Senda.

Buku bertajuk Momoye Mereka Memanggilku merupakan karya EkaHindra bersama Koichi Kimura, yang terbit pada 2007. Buku bergenre biografi ini berkisah seorang perempuan asal Yogyakarta bernama Mardiyem, yang menjadi korban sebagai budak seks militer Jepang di Indonesia.

Kendati Perang Asia Timur Raya sudah berakhir sejak 75 tahun silam, lara dan nestapa para penyintas “ianfu” masih menganga. Selepas perang, kesengsaraan masih berlanjut bahkan hingga mereka menua dan usai usia. Penelitiaan dan penghimpunan informasi para penyintas pun berkejaran dengan waktu. Kian hari, kian sedikit penyintas yang bisa dijumpai. Semua narasumber, baik dalam cerita maupun foto, telah wafat kecuali Ronasih asal Sukabumi yang menjadi foto sampul.

Baca Juga: Suasana Ketika Hindia Belanda Sekarat

Jelang edisi ini terbit, Eka menunjukkan foto kondom lusuh dan tampak berlubang di ujungnya kepada awak redaksi kami. Menurut kesaksian salah seorang penyintas, ungkapnya, kondom ini biasa disebut kaputjes. Kondom jatah ianjo mutunya rendah karena berbahan plastik kasar, mudah mengerut dan bocor. Akibatnya kondom ini justru sangat menyiksa para perempuan “ianfu” karena tidak ada cairan pelicinnya, sehingga membuat kemaluan mereka terluka.

Kondom “Totsugeki Ichiban” diproduksi oleh perusahaan Okamoto yang dibangun pada 1934, di bawah bendera perusahaan karet Kokusai. “Totsugeki Ichiban”  bermakna serangan sang juara. “Nama ini sangat provokatif dalam konteks seksual,” ujarnya. Setelah membeli karcis ianjo, setiap tamu mendapat jatah dua kondom. Relik ini menyimpan sejarah kelam nafsu dan nestapa manusia.

Perusahaan Okamoto ini memonopoli bisnis kondom selama perang Asia Timur Raya. “Kondom ini pernah beredar di Indonesia pada masa pendudukan Jepang yang berkait dengan sejarah ianfu,” imbuh Eka. “Ironisnya, merk kondom itu masih bisa kita jumpai di Indonesia, bahkan kini dijual di minimarket di dekat rumah kita.”

Bincang Redaksi-13 "Paksa Nestapa Nona Djawa" akan digelar pada 1 Agustus 2020 pukul 15.30-17.00 WIB. Diskusi daring via ZOOM ini menampilkan EkaHindra dan Rahmad Azhar Hutomo tentang di balik layar penugasan. Simak informasi acara dan pendaftaran di media sosial kami.