Saya Pilih Bumi: Mengenal 5 Aktivis Lingkungan Muda yang Menginspirasi

By Gita Laras Widyaningrum, Senin, 3 Agustus 2020 | 16:05 WIB
Anak-anak muda dari seluruh dunia bergabung dalam aksi Global Climate Strike. (AFP)

Nationalgeographic.co.id – Dari Amerika Serikat, Swedia, hingga Uganda, anak-anak muda telah bersuara dan beraksi untuk mengatasi isu lingkungan seperti perubahan iklim, polusi plastik, dan deforestasi.

Pada September 2019 lalu, anak-anak di seluruh dunia ikut ambil bagian dalam Global Climate Strike. Sambil membawa spanduk bertuliskan harapan dan tuntutan mereka, anak-anak ini meminta para pembuat kebijakan melakukan sesuatu untuk melindungi Bumi.

Baca Juga: Studi: Jumlah Sampah di Bumi Akan Mencapai 1,3 Miliar Ton Pada 2040

Dari jutaan anak yang terlibat, berikut lima aktivis muda yang turut serta dalam gerakan tersebut dan telah menginspirasi perubahan di seluruh dunia:

Greta Thunberg

Greta Thunberg (Reuters)

Salah satu aktivis iklim yang mencuri perhatian adalah Greta Thunberg yang berusia 17 tahun. Pada Agustus 2018, remaja asal Swedia ini melakukan protes di depan gedung DPR Swedia. Ia izin dari sekolah selama sebulan untuk melakukan demo terkait krisis iklim.

Aksi Greta ramai dibicarakan di media sosial dan ia pun menjadi topik utama di seluruh dunia. Sejak saat itu, Greta menjadi wajah gerakan aktivisme iklim kaum muda.

Dikutip dari ABC News, Greta kemudian mengembangkan aksi personalnya itu menjadi sebuah gerakan #FridaysForFuture. Setiap minggu, anak-anak dari seluruh dunia bisa mengikuti langkahnya untuk tidak masuk sekolah di hari Jumat kemudian melakukan protes terkait perubahan iklim.

Kini, keberanian Greta telah menginspirasi Global Climate Strike. Aksi tersebut diselenggarakan 4.638 kali di 139 negara.

Alexandria Villasenor

Alexandria Villasenor (Twitter @AlexandriaV2005)

Sebagai pendiri Earth Uprising, gerakan peduli lingkungan, tidak diragukan lagi bahwa Alexandria Villasenor berdiri di garda depan dalam melakukan aksi terkait perubahan iklim.

Alexandria mulai mempelajari tentang perubahan iklim setelah mengunjungi California pada 2018. Saat itu terjadi kebakaran paling mematikan dalam sejarah. Asap menghampiri lokasi di mana Alexandria sedang mengikuti Camp Fire dan memicu penyakit asmanya. Ia kemudian memulai penelitiannya terkait kebakaran hutan di California.

“Perubahan iklim ternyata turut memici kebakaran tersebut,” ungkap Alexandria, dilansir dari Mashable.

Terinspirasi dari Greta, Alexandria juga izin dari sekolah di hari Jumat untuk melakukan protes di depan kantor pusat PBB di New York.

Xiye Bastida

Xiye Bastida (Twitter @xiyebastida)

Aktivis kelahiran Meksiko ini tidak asing lagi dengan perubahan iklim dan dampak mengerikan yang mengikutinya. Seperti yang dijelaskan Xiye pada situs Global Climate Strike, ia terpaksa meninggalkan kampung halamannya di Meksiko setelah banjir selalu menghalanginya pergi ke sekolah.

Xiye dan keluarganya kemudian pindah ke New York di mana ia mempelajari tentang Badai Sandy dan menyadari bahwa masalah perubahan iklim selalu ada di wilayah mana pun di seluruh dunia.

Xiye kini aktif bergerak sebagai aktivis, penyelenggara Fridays For Future di New York, dan duta muda untuk Y on Earth.

Lilly Platt

Lilly Platt (BBC)

Lilly Platt lahir di Inggris, tapi tinggal di Belanda. Di usia 11 tahun, ia aktif melakukan protes untuk perubahan iklim. Ditemani oleh ibunya, ia izin tidak masuk sekolah setiap Jumat.

Lilly merupakan duta muda untuk Plastic Pollution Coalition dan HOW Global. Ia juga memiliki kampanyenya sendiri dalam mengatasi masalah sampah, yaitu Plastick Pick Up Lilly, yang telah dimulai ketika berusia tujuh tahun.

Baca Juga: Saya Pilih Bumi: Mengapa COVID-19 Sangat Berdampak Bagi Lingkungan?

Leah Namugerwa

Leah Namugerwa (BBC)

Leah Namugerwa merupakan aktivis iklim berusia 15 tahun dari Uganda. Ia telah bergabung dengan gerakan Fridays for Future dan peduli pada isu polusi plastik sejak Februari 2019.

Negaranya, sama dengan wilayah lain di benua Afrika, berisiko mengalami desertifikasi—artinya lahan subur di sana terancam tandus dan kering. Para ahli mengatakan, peristiwa ini dipengaruhi oleh kekeringan dan kenaikan suhu, dua faktor yang amat berkaitan dengan perubahan iklim.

“Saya ingin membawa perubahan positif bagi negara sata. Juga menekan pemerintah agar segera melakukan aksi pencegahan,” ungkapnya kepada BBC.