Apakah Ekonomi Sirkular Bisa Menjadi Solusi Permasalahan Lingkungan?

By Gita Laras Widyaningrum, Senin, 28 September 2020 | 23:17 WIB
Penggunaan kantung plastik sekali pakai telah menjadi salah satu perilaku manusia. Kini, ad upaya pengurangan dampak plastik terhadap lingkungan. (LightFieldStudios/Getty Images/iStockphoto)

Dengan adanya pandemi, menurut Jessica, saat ini orang-orang mulai memiliki perspektif baru. Mereka mulai memikirkan ulang kebutuhan sehari-hari, termasuk soal makanan. Karena khawatir akan kesulitan mendapatkan makanan, beberapa dari mereka mulai berkebun, dan pupuknya dibuat dari sisa-sisa makanan sehingga tidak ada sampah yang terbuang.

Selain itu, akibat kondisi ekonomi yang memburuk, mereka mulai menghemat pengeluaran dan membatasi diri untuk tidak membeli barang-barang yang tidak dibutuhkan.

Setiap orang, dari rumahnya masing-masing, bisa berperan dalam menerapkan ekonomi sirkular demi lingkungan yang lebih baik. Menurut Jessica, cara-cara yang bisa dilakukan meliputi: memilah sampah, mencuci sampah kemasan untuk memudahkan daur ulang, mengompos, menumbuhkan sendiri makanan sehari-hari, menggunakan air AC untuk keperluan lain sehingga tidak terbuang sia-sia, menggunakan bahan alami, membeli makanan lokal, mengonsumsi makanan tidak berproses, gunakan air dan terapkan pola konsumsi yang bijak.

Meski begitu, Jessica menegaskan, ekonomi sirkular tetap membutuhkan sinergi dari berbagai pihak. “Mulai dari produsen, pengguna, anggota keluarga, komunitas, pemulung, industri, hingga pemerintah.”

Kolaborasi berbagai pihak

Hamish Daud, Founder Indonesian Ocean Pride, menyatakan bahwa di tengah permasalahan sampah ini, ada ‘momen menarik’ karena banyak orang memiliki motivasi yang sama. Ada solusi kolektif di sana.

“Kita ingin lautan bersih, jadi ada tujuan sama yang ingin dicapai, It’s hard work but we can do it,” ungkap Hamish.

Bersama dengan Indonesian Ocean Pride, Hamish membuat aplikasi Octopus yang berkaitan dengan pengumpulan dan daur ulang sampah plastik. Aplikasi ini menghubungkan konsumen atau individu yang sudah mengumpulkan dan memilah sampah nonorganik mereka dengan para pemulung yang akan membawa sampah tersebut ke bank sampah, pengepul atau pengusaha daur ulang plastik. Ini dilakukan untuk membuka rantai daur ulang agar tidak putus di satu pihak saja dan mengurangi jumlah sampah di lingkungan.

Sampah yang dikumpulkan kemudian akan dikonversikan menjadi poin yang dapat ditukar dengan uang tunai atau voucher menarik.

“Hampir semua orang punya smartphone, kenapa kita nggak menggunakan internet dengan maksimal? Dengan aplikasi ini, saya ingin membuat kota menjadi bersih dan membantu pemulung. It’s a win-win thing,” papar Hamish.

Menurut Hamish, pemulung adalah pahlawan lokal dalam mengatasi permasalahan lingkungan. Keberadaan mereka memegang peran kunci dan sangat dibutuhkan. “Daripada keliling mencari sampah dan belum tentu dapat, kami memaksimalkan waktu mereka—menghubungkan pengguna aplikasi dengan para pemulung terdekat yang akan mengambil sampahnya,” jelas ia.

Aplikasi Octopus saat ini baru diuji coba di Makassar dan sudah ada 1.600 pemulung yang tergabung. Ke depannya, mungkin akan diterapkan juga di kota-kota lain di Indonesia.