Kabar Kereta Api Kita dari Lembaran-lembaran Kartu Pos Hindia Belanda

By Mahandis Yoanata Thamrin, Sabtu, 8 Agustus 2020 | 23:38 WIB
Kartu pos bergambar kereta di jalur yang dibangun oleh Semarang Cheribon Stoomtram Maatschappij. Dibubuhi perangko 5 sen dengan stempel pos 7 Februari 1911. (Koleksi Olivier Johannes Raap)

Nationalgeographic.co.id—Lebih dari 150 tahun, roda-roda kereta uap telah menggelinding di negeri ini. Apa yang bisa kita pelajari dari lembaran-lembaran kartu pos Hindia Belanda tentang riwayat kereta api kita?

Di kawasan Asia, sejarah kereta api Indonesia memiliki riwayat tertua setelah India. Boleh jadi Hindia Belanda telah memiliki pandangan jauh ke depan. Setidaknya, pada masa itu orang sudah berpikir bahwa pada suatu hari jalan raya tidak akan mampu menampung begitu banyak kendaraan.

Pembangunan angkutan kereta api sangat menguntungkan secara ekonomi. Angkutan kereta hadir dengan biaya relatif murah, efektif, dan bisa melibatkan banyak sekali sistem lain yang membuka lapangan pekerjaan baru.

Suatu hari pada 1864, Gubernur Jenderal Ludolph Anne Jan Wilt Baron Sloet van De Beele melakukan pencangkulan pertama untuk pembangunan rel kereta api rute Kemijen–Tanggung. Pembangunan rel ini mendapat pengawasan dari J.P. de Bordes dari Nederlandsch Indische Spoorweg Maatschappij (NISM). Akhirnya, NISM meresmikan jalur kereta api Semarang–Tanggung sejauh 25 kilometer pada 10 Agustus 1867. Inilah peristiwa bersejarah ketika untuk pertama kalinya roda-roda kereta uap menggelinding di Hindia Belanda.

Baca Juga: Seribu Gigi Dari Abad Ke-19 Ditemukan Di Stasiun Kereta Bawah Tanah

Kereta uap yang melintasi seruas jembatan di Priangan. (Koleksi Olivier Johannes Raap)

Namun, penawaran investasi kepada pihak swasta ternyata berakhir dengan kerugian pihak swasta. NISM tak kuasa menanggung semuanya. Tampaknya investasi di Hindia Belanda tidak selalu mulus seperti di Eropa. Akhirnya, pemerintah membuat sendiri perusahaan pembangun jalan kereta api. Lahirlah Staatsspoorwegen (SS). Tujuan awalnya, kepentingan penanganan masalah keamanan dan pertahanan—termasuk untuk memadamkan pemberontakan.

Olivier Johannes Raap, kolektor kartu pos Hindia Belanda dan penulis buku Sepoer Oeap di Djawa, mengungkapkan tentang sebutan lain untuk kereta api yang kerap dijumpai dalam percakapan: “sepur”.

“Kata sepur biasanya diartikan sebagai kereta api, namun arti sejatinya berbeda,” ungkap Olivier. Dia menambahkan bahwa kata sepur berasal dari kosakata Belanda spoor yang memiliki makna lajur rel yang harus dilintasi kendaraan rel. “Kata tersebut sebenarnya lebih mengacu pada infrastruktur rel daripada lokomotif dan gerbong.”

Baca Juga: Riwayat Obelisk Termegah di Permakaman Kebun Raya Bogor

Sebuah loko bersama gerbong-gerbong kereta tengah melintasi jembatan Sungai Serayu di Maos, Jawa Tengah. (Koleksi Olivier Johannes Raap)

Di Jawa, kereta utamanya digunakan untuk ekonomi, pertanian, dan perdagangan. Sementara di Sumatra kereta api sebagai moda transportasi mobilisasi militer untuk perlawanan terhadap para perusuh.

Arus modal telah membuat wajah Hindia Belanda berubah. Investor besar membangun jalan kereta api, sementara investor lain membangun trem. Kereta api dan trem mempekerjakan buruh yang begitu banyak di berbagai bidang. Kereta api menjelma sebagai salah sektor angkutan padat karya. Pada awal abad ke-20, organisasi buruh rawan terlibat masalah politik. Dan, organisasi buruh kereta api dan trem di Semarang telah melahirkan gerakan politik sayap kiri.

Olivier mengungkapkan bahwa Hindia Belanda pernah terdapat 17 perusahaan kereta api swasta di Jawa. Setiap perusahaan itu mengoperasikan jaringan kereta api di Jawa.

“Beberapa perusahaan swasta pernah dibubarkan, diambil alih, atau melebur dengan perusahaan lain,” ujarnya. Hasilnya, “pada 1940 tinggal 12 perusahaan perkeetaapian di Pulau Jawa yang masih memiliki 5137 kilometer rel.”

Baca Juga: Perjumpaan di Stasiun Kereta Listrik Pertama Hindia Belanda

Selembar kartu pos yang menampilkan bangunan Stasiun Gombong. Dikirim dari Weltevreden, Batavia, dengan perangko 2,5 sen. (Koleksi Olivier Johannes Raap)

Salah satu aspek menarik dalam kartu pos yang menampilkan perkembangan kereta di Hindia Belanda adalah arsitektur stasiun-stasiunnya. Olivier mengungkapkan bahwa arsitektur stasiun mengikuti gaya-gaya yang populer pada zamannya. Arsitektur stasiun menampilkan beragam gaya, dari historisme-eksotisme sampai art déco hingga modernisme—bahkan sebagian bergaya campuran.

“Sudah sepantasnya jika stasiun-stasiun itu ditahbiskan sebagai peninggalan sejarah perkeretaapian yang patut dilestarikan,” ungkapnya.

Kendati roda-roda kereta telah menggelinding di Indonesia lebih dari 150 tahun, banyak hal yang belum kita ketahui tentang sisik melik cerita kereta api kita. Apa saja yang berubah dan apa saja yang tetap di tempatnya?

Baca Juga: Kota Awal Kereta Api Menderu

(National Geographic Indonesia)

Kereta api selalu melintas di lajur rel sebelah kanan tatkala ada dua lajur rel, berbeda dengan lalu lintas biasa di jalan umum yang wajib ambil lajur kiri. Mengapa demikian?

Jaringan rel swasta NISM dibangun lebih awal ketimbang jaringan rel negara SS, namun stasiun tertua berada di jaringan SS. Di manakah stasiun tertua di Indonesia yang masih aktif hingga hari ini? Benarkah jumlah pintu stasiun berfungsi juga sebagai penanda kota besar dan kota kecil? Apa beda antara stasiun, halte, dan stopplaats?

Silakan mendaftar melalui pranala bit.ly/bincangredaksi14 untuk menyimak sederet jawaban dan fakta cerita kereta kita. Program siaran langsung Bincang Redaksi-14 digelar dari Delft dan Jakarta via aplikasi diskusi daring, Zoom.