Nationalgeographic.co.id—Kisah berkembangnya batik di balik tembok keraton di Jawa Tengah bagian selatan bertalian dengan perjalanan Imperium Mataram. Kebutuhan akan kain yang digunakan di dalam keraton menjadikan kegiatan membatik tumbuh dengan pesat. Tembok istana pun menjadi saksi bagaimana putri-putri Keraton berpartisipasi dalam proses pengembangan batik itu sendiri. Setiap pangeran pun memiliki para pembatiknya sendiri.
Untuk pertama kalinya dalam sejarah empat penerus Istana bertemu dalam diskusi daring. Pada masa silam, pertemuan yang dihadiri perwakilan kerajaan di Jawa seperti ini memerlukan serangkaian upacara protokoler. "Namun kali ini bisa berbicara dengan santai," kata Mahandis Yoanata Thamrin, Managing Editor National Geographic Indonesia di acara Bincang Redaksi ke-15.
Vorstenlanden adalah sebutan untuk tanah kerajaan di Jawa Tengah bagian selatan. Konteks sejarahnya berawal dari Kesultanan Mataram, kerajaan bercorak Islam yang berdiri pada abad ke-16 dan berdaulat pada abad ke-17. Kerajaan ini menurunkan “Wangsa Mataram” yang kelak akan bertakhta di Jawa, dan nyaris menyatukan Jawa.
Baca Juga: Investigasi Terbunuhnya Kapten Tack di Kartasura
Kini, Vorstenlanden menjadi tengara untuk bekas teritori Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta. Dan, perjalanan sosial-politik-budaya di tanah ini memengaruhi politik kebudayaannya. Batik, menjadi salah satunya.
Baca Juga: Kisah Sang Penyebar Berita Kemerdekaan Indonesia ke Penjuru Dunia
Kiprah batik di dalam istana menjadi sajian utama dalam diskusi daring yang bertema Batik Vorstenlanden: Kisah Batik Dari Empat Istana Penerus Mataram pada Sabtu, 16 Agustus silam.
Pembicara pertama, K.P.G.H.A. Dipokusumo, Karaton Kasunanan Surakarta Hadiningrat, menyampaikan pakaian batik dalam Karaton Kasunanan dan berbagai pemberian leluhurnya. Batik lambat laun mengalami perubahan, sesuai dengan motifnya, Pakubuwono III menciptakan batik untuk perkawinan. Era selanjutnya berkembang dengan keluarga raja seperti motif parang.
“Ada beberapa jenis kain bathik yang menjadi larangan saya," tulis Pakubuwana III, "bathik lar, bathik parang, bathik cemukiran yang berujung seperti paruh podang, bangun tulak lenga teleng serta berwujud tumpal dan juga bathik cemukiran yang berbentuk ujung lung (daun tumbuhan yang menjalar di tanah), yang saya ijinkan memakai adalah patih dan para kerabat saya. Sedangkan para kawula tidak diperkenankan.”
Zaman Pakubuwono VII batik mulai di masyarakatkan dengan silang kultur selain budaya keraton. Batik juga menjadi pakaian acara lengkap pada Pakbuwono X. Jepang juga menaruh goresan perkembangan batik Karaton Kasunanan pada era Pakubuwono XI.
Sekitar tahun 2000 muncul batik Gusdurian, ungkap Gusti Dipo. Batik ini merupakan modifikasi batik Solo dan Yogya dengan motif parang garong. Sementara generasi baru, batik dileburkan dengan gaya moderen.
Baca Juga: Bertualang ke Pasar Zaman Mataram Kuno. Adakah Tradisi yang Berlanjut?
Bagaimana corak batik di dalam Pura Mangkunegaran? Dinamis dan modern adalah kesan yang bisa kita dapatkan.
Corak yang diciptakan pun sangatlah banyak dan mempunyai ciri yang yang sangat luwes. Batik Mangkunegaran tidak memakai pola, sehingga langsung dibatik di atas kain. Modern dan moderat adalah gaya utama dari batik Mangkunegaran.
Bagaimana dengan pola atau motif larangan di dalam Mangkunegaran? Tentu Saja ada dimana Mangkunegaran masih merupakan dalam kesatuan Imperium Mataram maka motif batik parang adalah motif yang sakral dan hanya dibolehkan oleh raja beserta turunannya.
"Memang batik Mangkunegaran sudah menyocokan dengan perkembangan moderen. Seperti dipasangkan dengan celana jins. Tanpa melupakan pakem," ucap GPH. Paundrakarna Jiwo S.
Paundra, sapaan akrabnya adalah putra sulung dari dua bersaudara pasangan KGPAA Mangkunegara IX dan Sukmawati Soekarnoputri. Dia dikenal sebagai pemain sinetron, bintang iklan, dan penyanyi Indonesia.
"Pakem pada batik mangkunegaran memiliki cirinya sendiri. Misalnya pewarnaan alam dari bunga dan getah. Warnanya lebih muda, kuning keemasan," lanjut pada paparan R.Ay Niniek Partaningrat.
Goresan pada tiap batik menyimpan doa dan harapan. Sehingga batik dianggap sebagai sebuah meditasi. Niniek agak menyayangkan bahwa banyak batik seperti motif mangkunegaran di gunakan sebagai taplak meja atau sarung bantal. Sejatinya hal tersebut mengecewakan makna filosofis dari batik itu sendiri. Karena dalam membuat batik harus puasa (memiliki jiwa bersih).
Baca Juga: Inilah Lukisan Awal Keraton Ngayogyakarta Karya Seniman VOC
Kita mungkin sudah mengetahui bahwa terjadinya perjanjian giyanti membelah dua kerajaan. Dalam perjanjian jatisari, tepat dua hari setelah perjanjian giyanti, yang benar-benar membuat pembeda antara Surakarta dan Yogyakarta. Beberapa hal termasuk di dalamnya. Tarian, gending, batik yang di wariskan dari kebudayaan Mataram ke Kraton Yogyakarta. Sementara Keraton Surakarta membuat budaya baru.
"Warna sogan yang masih kita gunakan hingga sekarang itu bisa runut sampai ke Sultan Agung," ucap G.K.R. Bendara, putri bungsu Sri Sultan Hamengkubuwana X.
Ada beberapa motif yang menjadi motif larangan. Seperti motif huk, motif kawung, dan motif semen. Motif larangan ini pertama kali motif parang, dituliskan oleh tiap Hamengkubuwono tentang tata cara berpakaian. Batik larangan banyak penyalahgunaan. Berbagai desainer dan arsitektur banyak membuat motif yang salah.
"Batik itu tidak hanya di lihat sebagai tekstil tetapi juga bidang seni. Kepada para desainer dan arsitek, bila mau menggunakan batik jenis parang harus hati-hati. Karena kebanyakan motif parangnya miring bukan menurun," kata G.K.R. Bendara.
Baca Juga: Dari Stasiun Solo Balapan Sampai Istana, Menapaki Wangsa Mangkunegaran
G.K.B.R.A.A Paku Alam mengungkapkan bahwa batik Pakualaman juga memiliki dinamika perkembanganya. Paku Alam I mengenakan corak batik Yogyakarta, Paku Alam VII-VIII mengenakan corak batik Surakarta, sementara Paku Alam IX-X mengenakan corak batik Yogyakarta dan belakangan mengembangkan motif batik naskah.
"Batik," menurutnya, "memiliki makna filosofi yang luar biasa, memasyarakatkan pesan moral para leluhur dan memiliki unsur yang esensial."
Selama ini kita melihat istana kerajaan-kerajaan di Jawa sebagai sebuah simbol atau tengara kota. Padahal istana-istana itu memiliki peranan penting sebagai penjaga jantung budaya kota, salah satunya tradisi batik. Kita harus mengapresiasi upaya-upaya pelestarian batik di balik tembok istana. Diskusi ini membuka wawasan baru tentang peranan istana dalam mengembangkan dan melestarikan batik-batik tradisi mereka.
Batik di Jawa Tengah bagian selatan, telah diwarnai oleh situasi sosial-politik-dan budaya sepanjang riwayat empat kerajaan itu. Dan setiap kerajaan memiliki filosofi dan simbol-simbolnya sendiri. Kelak, setelah batik dibolehkan berkembang di luar istana, batik memiliki kebaruan khasanah budaya meski tidak meninggalkan ciri atau karakter asal-usulnya.
Batik membawa DNA di tanah raja-raja Jawa. Kendati terbagi dalam beberapa kerajanan dengan pasang surut hubungan politiknya, batik mempersatukan mereka. Lebih dari itu, batik telah meneguhkan bahwa kita begitu terkait dengan asal-susul negeri rempah.
Batik adalah doa dan harapan yang diembuskan pembatik sehingga kain-kain itu memiliki jiwa. Dan manusia membutuhkan doa untuk mengisi jiwa dan menapaki setiap langkah hidupnya.