“Agar harmonisasi ekosistem daur ulang bisa maksimal, pemilahan dari rumah tangga sebaiknya lebih cepat dilakukan. Sampah tidak tercampur dengan organik itu saja sudah meningkatkan nilai daur ulang,” ungkap Ahmad.
Saat ini, menurutnya, kualitas plastik pascakonsumsi masih belum memenuhi standar idustri akibat minimnya pemilahan sampah di sumbernya sehingga kebutuhan plastik daur ulang banyak diambil dari limbah plastik industri dan scrap plastik impor.
Selain itu, ia mengatakan, kapasitas daur ulang perlu diperbaiki. Sebab, penambahan kapasitas daur ulang plastik yang ada saat ini juga masih terbatas pada beberapa jenis plastik saja. Ahmad pun mengimbau para produsen untuk lebih terbuka mengenai bahan baku plastik yang digunakan karena itu dapat meningkatkan recycling rate.
Peran produsen
Nurdiana Darus, Head of Corporate Affairs & Sustainability Unilever Indonesia, mengatakan bahwa kemasan plastik sekali pakai telah menjadi sustainability focus dari Unilever, sebagai salah satu produsen di Indonesia.
Unilever sendiri telah berkomitmen mengurangi setengah dari penggunaan virgin plastic atau plastik baru, mempercepat penggunaan plastik daur ulang, serta mengumpulkan dan memproses kemasan plastik lebih banyak daripada yang dijualnya untuk menciptakan Indonesia yang lebih bersih pada 2025.
“Kemasan plastik sebenarnya aman dan memiliki jejak karbon yang rendah. Namun, kami menyadari bahwa kemasan plastik yang tidak dikelola dengan baik akan menimbulkan masalah baru yang mencemari lingkungan kita,” ungkap Nurdiana.
“Sebagai pelaku bisnis, Unilever menyadari bahwa perlu mengubah cara berbisnis, dari yang tadinya linier, menjadi sirkular. Dan ini sudah kami lakukan pada beberapa program,” imbuhnya.
Unilever telah membina lebih dari 4.000 Bank Sampah sejak 2008 dan berhasil menyerap hampir 12.500 ton sampah di tahun 2019. Mereka juga melakukan edukasi terkait sekolah sehat dan pemilahan sampah serta pembentukan Bank Sampah di pesantren-pesantren. Di bidang inovasi, Unileber telah menyediakan Refill Station untuk mengurangi produksi kemasan sekali pakai dan mengganti gagang sikat giginya dari plastik menjadi bambu yang lebih ramah lingkungan.
Unilever Indonesia menyadari bahwa isu sampah plastik bukan permasalahan yang mudah diselesaikan dan perlu kolaborasi dari berbagai pihak.
Hal ini yang menjadi alasan mengapa Unilever Indonesia tergerak untuk melakukan studi bersama SWI dan IPR mengenai rantai nilai sampah plastik. Unilever ingin menjadi katalisator bagi upaya penelusuran dan pemecahan masalah pengelolaan sampah plastik di Indonesia.