Nationalgeographic.co.id - Kondisi satwa liar di Indonesia semakin terancam. Berdasarkan pendataan, orangutan adalah satu-satunya kera besar endemik yang kini tersisa di Pulau Sumatra dan Pulau Kalimantan. Ini menjadikannya spesies payung di wilayah tersebut.
M. Arif Rifqi, Praktisi Konservasi Habitat Satwa Terancam Punah dari Yayasan Konservasi Alam Nusantara, mengatakan bahwa sebagai sebagai spesies payung, aktivitas orangutan akan sangat memengaruhi ekosistem di sekitarnya.
Sebagai contoh, menurut Arif, daya jelajah orangutan yang luas mampu menyebarkan biji dari buah-buah hutan yang dimakan dan keluar melalui kotoran. Biji dari feses mereka berkualitas bagus dan bisa tumbuh subur lebih baik daripada biji dari persemaian atau penanaman konvensional oleh manusia.
Baca Juga: Es Greenland Mencair, Peneliti: Tidak Bisa Kembali Seperti Semula
Arif mengatakan, masih banyak potensi orangutan yang belum dieksplorasi manusia. Selama ini, studi-studi tentang hewan bermarga Pongo ini lebih banyak mengupas populasi dan habitatnya. Padahal, menurut Arif, tanaman yang dikonsumsi orangutan berpotensi sebagai tanaman obat maupun tanaman pangan manusia.
“Itu sebabnya, orangutan juga disebut sebagai agen regenerasi hutan terbaik,” ungkap Arif dalam acara Conservation Talk: Orang Utan dan Kita, pada Rabu (19/8/2020)
Mengingat tingkat kemiripan DNA antara orangutan dan manusia adalah 97 persen, studi perilaku orangutan juga masih terbuka dari sisi antropologi, biologi, kehutanan, hingga bioteknologi. Pesan alam lewat orangutan inilah yang belum diterjemahkan secara utuh. Oleh sebab itu, populasinya harus terus dijaga agar lestari hingga generasi nanti.
“Orangutan adalah spesies payung, jadi melindungi mamalia ini diharapkan dapat melindungi spesies lainnya yang hidup pada habitat yang sama,” ujarnya.
Kajian Population and Habitat Viability Assessment Orang Utan (PHVA) 2016 menunjukkan bahwa kondisi habitat orangutan yang masih baik bisa ditemukan di Kalimantan Timur. Berdasarkan kajian tersebut, setidaknya ada 1.200 individu orangutan yang tersebar pada tiga submetapopulasi, yaitu Kelay-Gie, Wehea dan Telen. Kajian ini turut mengidentifikasi lebih dari 500 jenis satwa liar dan lebih dari 400 jenis pohon, yang sekitar 30% di antaranya merupakan pakan orangutan Kalimantan subjenis Pongo pygmaeus morio.
Namun, di wilayah yang mayoritasnya merupakan kawasan hutan ini, terdapat pula unit-unit konsesi kehutanan, perkebunan dan wilayah kelola masyarakat.
Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalimantan Timur, Sunandar Trigunajasa, menjelaskan bahwa melindungi populasi orangutan yang terbaik adalah dengan menjaga habitatnya. Habitat yang mendukung perkembangbiakan orangutan adalah yang memiliki kanopi hutan bagus, tajuk pohon lebat, dan yang paling penting adalah memiliki produktivitas pohon buah tinggi.
Ia menambahkan, perlu kerja sama dan komitmen dari berbagai pihak agar konservasi habitat bisa dilakukan. “Dalam konteks konservasi, diperlukan kemitraan para pihak untuk berperan aktif dalam perlindungan orangutan dan habitatnya,” kata Sunandar.
Saat ini, pengelolaan habitat orangutan di Bentang Alam Wehea-Kelay melibatkan 23 mitra mewakili sektor pemerintah pusat, pemerintah daerah, swasta, perguruan tinggi, masyarakat dan lembaga swadaya masyarakat.
Baca Juga: Setelah Menjadi Tawanan Akuarium, Dua Paus Beluga Dikembalikan ke Laut
Penasihat Konsesi Kehutanan PT Gunung Gajah Abadi Group, Prof. Soeyitno Soedirman, mengatakan bahwa keberadaan orangutan di wilayah perusahaan sendiri merupakan aset ekosistem sehingga harus dijaga.
“Kami sudah bergabung bersama Forum Kawasan Ekosistem Esensial Wehea-Kelay, belajar bersama-sama tentang bentang alam di wilayah ini, memahami dan menyadari potensi keanekaragaman hayati di wilayah ini. Kami survei bersama, kami petakan bersama, dan membuat protokol yang disepakati bersama,” ungkapnya.
Upaya konservasi orangutan menjadi salah satu pilihan untuk menyelamatkan satwa ini dari kepunahan. Adanya upaya kolaboratif yang melibatkan seluruh pihak menjadi kunci untuk melindunginya.