Oleh Didi Kaspi Kasim—Editor in Chief National Geographic Indonesia
Gunung-gunung, lembah-lembah Yang penuh misteri... Kan ku puja s’lalu... Keindahan alammu yang mempesona Sungaimu yang deras mengalirkan emas ‘Syo...’ Ya Tuhan...Trima...kasih...
Nationalgeographic.co.id—Lirik lagu Tanah Papua mengawali perjalanan kami dari Sorong menuju Kabupaten Tambrauw, Papua Barat. Ini menjadi kali pertama buat kami menjejakkan kaki di kabupaten muda ini. Sebuah kabupaten konservasi yang hampir 80 persen wilayahnya dikelilingi hutan lindung dan konservasi.
Kurang lebih 120 kilometer jarak antara Sorong dan Tambrauw. Kondisi jalanan trans-Papua yang menghubungkan kota-kota belum sepenuhnya rampung. Durasi tempuh perjalanan bisa molor hingga 4-5 jam—itu pun tergantung dengan kondisi cuaca. Sekadar catatan, musim hujan di Papua Barat boleh dikatakan berlangsung sepanjang tahun.
Baca Juga: Tari Wutukala, Inovasi Berburu Ikan Ala Suku Moy di Papua Barat
Tambrauw tampaknya tenggelam ketimbang tetangganya, Raja Ampat. Tempat ini baru dikenal sebagai salah satu daerah lintasan yang menghubungkan dua kota besar di Papua Barat, yakni Sorong dan Manokwari. Bersama Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia, kami mencoba kembali menyingkap Tambrauw.
Kami meniti pola perjalanan wisata minat khusus.
Pertama, perjumpaan dengan penyu belimbing atau Dermochelys coriacea. Satwa berkarapas ini memilih Tambrauw bagi persinggahan mereka. Pantai Jamursba Medi berlokasi di Distrik Abun menjadi persinggahan satwa-satwa dilindungi ini. Kapal cepat akan mengantarkan kita ke sini sekitar dua jam dari Sausapor.
Kedua, medan perjalanan. Perjalanan ke Sausapor dari Sorong kami tempuh dengan kendaraan berpenggerak empat roda. Perlu pengemudi yang berpengalaman untuk dapat melintasi beberapa rintangan sepanjang jalur trans-Papua ini. Namun, perjalanan kami yang melambat ini bukanlah sesuatu yang perlu disesali. Perjalanan lambat justru memberi kesempatan kami utuk melihat betapa luar biasanya alam Papua.
Baca Juga: Burung-Burung Surgawi Pelipur Lara Pandemi
Ketiga, Situs Perang Dunia Kedua juga menjadi bagian dari pola perjalanan kawasan ini. Di Distrik War, sekitar 30 menit dari pusat Kota Sausapor, terdapat situs peninggalan panser-panser baja armada Sekutu yang terdampar dan terjebak mati di lebatnya hutan Papua Barat. Masih terserak botol-botol bekas peninggalan tentara-tentara asing ini. Situasinya, seolah membawa kami ke zaman perang. Tampaknya armada Sekutu tak hanya bertarung dengan armada Jepang, tetapi juga bersiasat tempur dengan alam Papua yang luar biasa lebat. Landasan pacu peninggalan MacArthur pun masih bisa kita saksikan di kawasan ini.
Keempat, pemantauan burung. Sebuah potensi luar biasa bagi kabupaten yang sekelilingnya penuh dengan hutan tebal dengan kontur bukit berlapis-lapis terhampar hingga pesisir. Potensi wisata bahari, alam, dan budaya menjadi harta karun. Bak intan masih berbalur lumpur, perlu upaya kita semua untuk memunculkan kemilaunya.
Baca Juga: Di Antara Perairan Surgawi Papua, Leluhur Nusantara Membuat Coretan Unik Tentang Perjalanan Manusia
Kami ditarik masuk lebih dalam ke hutan. Di Desa Klabili, sekitar 70 km dari kota Sausapor, kami menjelajahi hutan tropis Papua. Ada beberapa taman burung bentukan pemuda-pemuda setempat yang baru saja dibangun.
Cendrawasih, dan banyak lagi unggas endemik Tanah Papua menghuni kawasan hutan ini. Berjalan kaki mengendap-endap di kegelapan malam menjadi satu keseruan bagi para penikmat pemantauan burung. Bersama suara pusparagam Papua, kami melintasi jalur setapak buatan para pemandu menuju titik-titik pemantauan yang kelak akan menjadi penarik para pejalan minat khusus.
Kami melihat dan merasakan betul betapa luar biasanya potensi pariwisata baru di Tambrauw. Betul, ada banyak hal yang perlu kembali disusun dan dibangun untuk bisa menerima para pejalan. Kami percaya, pada masa pagebluk sekarang, inilah saatnya Tambrauw punya kemewahan waktu untuk berbenah. Tambrauw bersiap, sampai nanti waktu tiba pariwisata kita akan kembali menggeliat.
Anak-anak muda nan gagah berseragam pemandu wisata membutuhkan kita. Mereka membutuhkan kecakapan untuk menambah kemampuan memandu, kemampuan bercerita, dan kepercayaan diri untuk bersuara lantang tentang potensi wisata rumah mereka. Berbekal pesan para leluhur, mereka percaya, hutan harus sehat karena berkat hutanlah mereka bisa hidup dan terus menjaga Tanah Papua.