Mencegah Kematian Akibat Happy Hipoxia, Ini yang Bisa Dilakukan

By National Geographic Indonesia, Senin, 7 September 2020 | 10:36 WIB
Ilustrasi (mammuth/iStockphoto)

Nationalgeographic.co.id - Silent hypoxemia atau yang dikenal masyarakat dengan happy hypoxia bisa menjadi penyebab pasien Covid-19 meninggal dunia tanpa gejala.

Meskipun pasien Covid-19 tidak bergejala, tapi banyak kasus yang menunjukkan pasien tiba-tiba sesak napas berat dan akhirnya meninggal dunia.

Kendati membahayakan, Ketua Umum Persatuan Dokter Paru Indonesia (PDPI) Agus Dwi Susanto mengatakan bahwa happy hypoxia sebenarnya bisa dicegah dengan melakukan deteksi dini.

Baca Juga: Studi: Tenaga Kesehatan yang Menangani COVID-19 Terancam Risiko Burnout

Untuk diketahui, hypoxemia adalah kurangnya kadar oksigen di dalam darah, yang umumnya menimbulkan reaksi atau respon tubuh berupa gejala dan keluhan di bebeberapa organ. 

Dalam kondisi tertentu, hypoxemia yang berkelanjutan dapat menyebabkan hypoxiaHypoxia adalah kondisi kadar oksigen yang kurang di dalam jaringan darah, dan memicu reaksi gejala. Sementara, silent hypoxemia adalah kekurangan kadar oksigen di dalam darah, tetapi tidak menimbulkan gejala atau keluhan fisik.

Berbeda dengan silent hipoxemia, happy hypoxia adalah kondisi kurangnya kadar darah di dalam jaringan, tetapi tidak menimbulkan reaksi atau keluhan sakit di organ-organ tubuh.

Agus berkata, kasus happy hypoxia atau silent hypoxia pada pasien Covid-19 di Indonesia sudah terjadi sejak awal ditemukannya kasus infeksi virus SARS-CoV-2. Hanya saja, kata Agus, kejadian ini tidak terekspos karena bagian pemeriksaan darah menunjukkan oksigen pasien tersebut rendah atau di bawah normal dengan saturasi di bawah 94.

"Tapi pasiennya duduk-duduk, bisa baca majalah. Ditanya ada keluhannya? Ya itu tidak ada. Ya itu kita sudah temukan sejak kasus Covid-19 ini ada," cerita Agus.

Agus menuturkan dugaan sementara penyebab terjadinya silent hypoxemia atau happy hipoxia terjadi pada pasien Covid-19 adalah pengaruh dari virus SARS-CoV-2 itu sendiri.

"Jadi sementara ini, disinyalir virus SARS-CoV-2 ini mengganggu reseptor yang ada di dalam mekanisme saraf tersebut," kata Agus.

Berbeda dengan pemeriksaan pneumonia (radang paru) dan nodul di paru lainnya, yang harus diperiksa di rumah sakit atau fasyankes. Deteksi dini atau pemeriksaan kadar oksigen bisa dilakukan di fasilitas layanan kesehatan, dan juga dilakukan mandiri sendiri.