Nationalgeographic.co.id - Selepa merupakan tempat untuk menyimpan sirih pinang yang digunakan untuk ritual-ritual adat Kampung Cecer, desa Liang Ndara, Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur. Di dalamnya, terdapat daun sirih (simbol kesegaran), kapur (simbol keikhlasan), dan buah pinang (simbol kejujuran).
Pada upacara pernikahan, selepa menjadi simbol keperawanan perempuan. Untuk membuka keperawanan itu, pihak lelaki harus membayarnya dengan seekor kerbau yang nanti akan diberikan kepada keluarga perempuan.
"Simbol keperawanan perempuan ada di selepa ini kalau masuk dalam upacara pernikahan. Jadi keluarga perempuan menyerahkan anaknya untuk membuka ini dan memberikan nilai-nilai persaudaraan dan keakraban yang baru," kata Kristoforus Nison, Ketua Lembaga Budaya Ekowisata Riang Tana Tiwa kepada National Geographic Indonesia di Kampung Cecer, Manggarai Barat (11/09/2020).
Baca Juga: Teori Tentang Beethoven Kulit Hitam dan Makna Perlawanan di Dalamnya
Namun di era sekarang, membuka selepa pada upacara pernikahan tidak perlu lagi menggunakan kerbau dan bisa digantikan dengan uang. Menurut Kristo, akan ada sangsi karma jika aturan adat ini tidak dilakukan dalam pernikahan.
Selepa juga digunakan untuk menyambut tamu Kampung Adat Cecer saat menampilkan tarian Reis Meka. Para penari perempuan dengan gaun hijau menyala akan memberikan sebuah sirih pinang dari dalam kotak kepada seorang tamu yang terpilih di akhir penampilan.
Sirih pinang yang diberikan mempunyai harapan bahwa sepulangnya ia dari Kampung Cecer maka kelak ia akan menyatu dengan kehidupan luhur yang ada di sana (kesegaran, keihklasan, kejujuran, dan persaudaraan).
"Ketika tamu pulang, kami berharap bahwa mereka membawa nilai luhur itu," ucap Kristoforus.
Selain disambut dengan tari Reis Meika, tamu yang datang ke Kampung Adat Cecer juga akan melihat para pemain caci yang saling memukul dengan cambuk dan perisainya. Tarian ini mengajarkan nilai-nilai kesabaran.
"Caci bukan tentang kejantanan, tapi soal refleksi diri dan kesabaran. Syarat utama yang harus dimiliki oleh para penari caci adalah larangan melanggar norma budaya. Terkena pukulan berarti merefleksikan apa yang kurang dari diri sendiri," papar Kristoforus.
"Soal kena dan tidak kena bukan jago dan tidak jago," imbuhnya.
Kampung Cecer sendiri berasal dari kata cecer yang dalam bahasa Manggarai berarti bergeser. Dahulu kala, pada generasi ke empat Kampung Cecer, muncul suatu wabah yang melanda masyarakatnya.
Akibat hal tersebut, kampung yang dahulu letaknya di sebelah timur, berpindah mencari posisi lain yang masih berdekatan dengan kali. Ia terus berpindah hingga sampai di posisi yang sekarang sejak tahun 1969.
Baca Juga: Thanaka, Kosmetik Alami Andalan Orang-Orang Myanmar
Kristoforus mendengar cerita wabah itu dari ayahnya. Dan ayahnya diceritakan oleh neneknya. Wabah itu bernama Nemba Bongot yang dipercaya karena kesalahan posisi letak kampung.
"Orang meninggal mendadak saja, hanya sakit perut meninggal. Dalam sejarahnya karena letak kampung yang salah sehingga harus bergeser dan selalu mengikuti pola alam," ujar Kristoforus.
Kristoforus mengatakan bahwa tidak menutup kemungkinan bahwa masyarakat Kampung Cecer kedepanya akan bergeser ke tempat lain. Karena sudah ada lahan baru yang dipersiapkan untuk pemekaran kampung untuk mengatasi jumlah penduduk yang berlebih.