Teh Tayu, Warisan Budaya Tionghoa Bangka yang Menggantikan Timah

By Fikri Muhammad, Kamis, 3 Desember 2020 | 06:38 WIB
Salah satu kebun teh milik masyarakat Desa Tayu yang dikelola oleh seorang petani bernama A On. (Fikri Muhammad)

Nationalgeographic.co.id—“Kejayaan itu milik masa lampau. Walaupun dahulu Muntok jadi awal peradaban di Pulau Bangka. Tapi yang saya lihat sekarang nilai peradaban itu tidak banyak yang mengakui dan memudar,” kata Suwito Wu, Ketua Heritage of Tionghoa Bangka (HETIKA).

Bangka dan Tionghoa sudah melebur sejak berabad lalu, ungkapnya. Tenaga kuli banyak berdatangan dari Tiongkok sejak masa Kesultanan Palembang. Orang-orang Tionghoa memotong kuncir rambut panjangnya untuk meninggalkan tradisi leluhur dan menjadi masyarakat Bangka.

Silang budaya terjadi. Orang Bangka menikah mengenakan pakaian merah dan emas yang kental dengan nuansa Tionghoa. Orang Tionghoa menggunakan pinang sirih untuk menjemput pengantin.

Para leluhur meninggalkan tradisi. Orang-orang Tionghoa yang datang ke Muntok menanam teh di pekarangan rumahnya untuk keperluan ibadah dan konsumsi pribadi. Kebun-kebun rumahan menyebar ke seluruh Bangka, umumnya di kampung pacinan. Namun sejak tahun 1950-an kebiasaan ini hilang. Orang lebih senang membeli daripada menanam.

Baca Juga: Memulihkan Kembali Tambang-tambang Timah Bangka Usai Eksploitasi

Survei tanah dengan bor di Bangka tahun 1906. Terlihat kuli Tionghoa dengan gaya rambut yang khas. Botak di depan dan kuncir di belakang. Kuncir akan dipotong setelah ia menyatu dengan kebudayaan melayu dan memeluk agama Islam. (KITLV)

Sekarang, hanya tersisa satu daerah peninggalan teh masa lampau. Yakni di Desa Tayu, Kecamatan Jebus, Bangka Barat. Kebun-kebun di sana dikelola oleh 16 rumah petani yang di sangrai secara manual.

Sugia Kam, seorang pegiat teh lah yang memasarkan produk teh Tayu. Perempuan ini akrab disapa Akiaw. Dia juga anggota komunitas HETIKA (Heritage of Tionghoa) Bangka. Dia pernah melanglang buana mengecap rasa teh di berbagai negara seperti Italia, Singapura, Inggris, Macau, Thailand, dan lainya. Inilah yang membuatnya merasakan titik balik kehidupan. Terutama waktu di London ketika ia merasakan tea time ala Inggris.

“Waktu di London saya tea time, itu titik balik saya. Udah mahal dan rasanya kurang gigit. Saya merasa teh saya lebih enak, tapi kenapa teh saya kurang maju?” kata Akiaw.

Ia melihat Inggris mampu membuat kemasan teh dan membangun suasana dengan baik. Balik ke Indonesia, ia mencoba meniru konsep yang sama. Cita-Citanya membangun suasa tea time ala Bangka dengan membangun Warung Singgah Dedayang.

Baca Juga: Kisah Teh Wangi Melati dari Tegal: Dari Teh Tatah Sampai 'Nyipok'

Teh Hijau dari Desa Tayu yang dihidangkan di Warung Singgah Dedayang. Adalah teh yang memiliki warisan budaya karena didatangkan sejak kuli tambang zaman Kerajaan Palembang datang ke Bangka. (Fikri Muhammad)