Teh Tayu, Warisan Budaya Tionghoa Bangka yang Menggantikan Timah

By Fikri Muhammad, Kamis, 3 Desember 2020 | 06:38 WIB
Salah satu kebun teh milik masyarakat Desa Tayu yang dikelola oleh seorang petani bernama A On. (Fikri Muhammad)

Akiaw memakan waktu tiga tahun untuk mendekati para petani supaya mau bekerja sama dengannya. Ceritanya, setelah pulang dari London pada 2017 ia sering mendatangkan tamu ke Tayu. Ia mengenalkan teh Tayu kepada tiap tamu yang datang.

“Awalnya saya ke kebun bawa tamu ke sini. Habis dari kebun mereka ke rumah petani untuk lihat sangrainya. Saya minta mereka cobain teh kita. Gitu aja awalnya,” ucapnya.

Dari sana banyak tamu berdatangan. Bahkan ada yang ingin membuat dokumenter. Mulanya para petani merasa enggan untuk diekspos. Sampai pada suatu saat Akiaw meyakinkan mereka. “Saya hanya menjajikan satu, saya akan jual teh. Akan saya kembangkan. Kamu mau ikut enggak?” pintanya kepada para petani teh.

Saat ini, baru 8 dari 16 petani yang menjual tehnya kepada Akiaw. Ia memberikan standar kepada petani supaya teh Tayu terjaga kualitasnya. Harga per kilogramnya mencapai Rp300.000. Ia menjual teh seharga Rp40.000 per ons di Tayu, Rp50.000 di Pangkal Pinang, dan Rp55.000 di Jakarta. Akiaw juga mempromosikan teh Tayu melalui media sosial.

Baca Juga: Penelitian: Teh Celup Juga Mengandung Banyak Mikroplastik

Sugia Kam (kiri) bersama seorang petani yang sedang menggenggam bibit teh tayu. Bibit-bibit itu ditanam di pekarangan rumah sang petani. (Fikri Muhammad)

Seorang petani bernama A On mengatakan bahwa kehadiran Akiaw memberikan dampak positif. Khususnya pada penjualan teh.

“Kebanyakan sih kirim ke Bangka. Dari Palembang dan Jakarta juga ada. Sekarang sih agak lumayan penjualannya. Teh kita ada kemajuan sejak dia yang promosi. Satu, teh kita sudah berjalan bagus kalo menurut saya. Kedua, dia kan sering promosi. Dari dia promosi itu jadi lebih banyak yang tahu,” ujarnya.

Teh Tayu merupakan jenis teh hijau yang melaui tiga kali proses sangrai manual. Menggunakan panci besar dengan pengapian dari bahan kayu. Pemrosesan ini menghabiskan waktu kurang lebihnya satu jam.

“Kita tiga kali sangrai baru bisa dapet duit. Setelah panen, bawa pulang, sangrai pertama. Sangrai kedua kita pilih lagi. Baru sangrai ketiga. Prosesnya paling lama itu sampai jadi paling tidak satu jam,” kata A On.

Baca Juga: Siapa yang Membangun Monumen Perang Dunia Pertama di Cikopo?

Proses sangrai teh Tayu masih menggunakan metode tradisional. Karena dianggap menyimpan rasa dan aroma dari warisan terdahulu. (Fikri Muhammad)