Teh Tayu, Warisan Budaya Tionghoa Bangka yang Menggantikan Timah

By Fikri Muhammad, Kamis, 3 Desember 2020 | 06:38 WIB
Salah satu kebun teh milik masyarakat Desa Tayu yang dikelola oleh seorang petani bernama A On. (Fikri Muhammad)

Pada beberapa kesempatan pameran di Muntok, Akiaw mempromosikan teh Tayu yang diadakan di Rumah Mayor Muntok.

Suwito, yang begitu bersemangat menyelisik sejarah Bangka, menjumpai bahwa tak jauh dari areal perkebunan teh di Tayu itu terdapat lokasi tambang. Ada satu momen ketika beberapa petani mau meninggalkan kebun dan mengganti lahannya menjadi tambang timah. Alasannya karena daya jualnya teh rendah.

Melihat hal tersebut, Suwito dan kelompok budayanya HETIKA berusaha membantu mempromosikan teh Tayu supaya petani tidak beralih ke pertambangan dan tetap mempertahankan nilai luhur budaya Tionghoa.

“Nah, saya rasa tugas HETIKA juga untuk mempromosikannya. Belakangan kita menjadikan teh Tayu sebagia ikon heritage tea. Produk heritage kita khususnya peranakan Tionghoa. Alhasil petani menunda untuk megganti lahan teh menjadi timah. Kalau ini sampai terjadi, bukan hanya lingkungan yang rusak, tapi tradisi nilai historis kita sebagai peranakan Tionghoa lama-lama hilang. Maka itu harus diselamatkan,” ucap Suwito.

Teh dan timah Bangka memiliki sejarah yang kuat. Orang-orang terdahulu menggunakan timah sebagai pembungkus teh agar aroma dan rasanya tetap kuat selama perjalanan laut.

“Kalo ngomongin teh dan timah sebenarnya ada hubungannya. Timah kita dahulu dikirim ke Tiongkok. Umumnya digunakan alat persembahyangan, tungku, alat perang, kertas timah untuk membungkus teh. Karena komoditas Manchuria saat itu adalah teh. Dan dikirim ke Eropa. Untuk mengirim teh dengan khasiat dan kualitas bagus harus dibungkus dengan timah. Jadi menjaga aromanya tetap ada,” ucap Suwito.

Baca Juga: Kisah Surat Wiyoto, Melindungi Hidup Merak Hijau Demi Lestarikan Reog Ponorogo

Heritage of Tionghoa merupakan komunitas yang berusaha untuk melestarikan budaya Tionghoa di Bangka. Awal mula terbentuknya karena sang pendiri, Suwito, merasa bingung ketika ditanya tentang sejarah Mayor Tionghoa Chung A Thiam di Muntok.

“Ketika mengunjungi rumah Mayor Tionghoa saya ditanya sama rekan saya. Ini Koko tahu nggak cerita tentang Mayor Tionghoa ini seperti apa. Apa silsilahnya? Ada berapa mayor? Kapiten ini siapa. Di versi Melayu ada temenggung lengkap semuanya. Saya bengong. Saya harus cari di mana? Mengapa enggak ada yang mencari. Karena itu saya terpanggil,” kata Suwito.

Pengalaman itu membuat Suwito dan teman-temannya mencari kuburan sang mayor. Ditemukanlah sebuah kuburan lusuh tak terawat di sebuah komplek kuburan elit dekat rumah Suwito, bernama Gang Mayor.

Kuburan itu memiliki ukiran yang cantik. Beberapa hiasan giok telah hilang. Dua meter di depan kuburan itu adalah jurang. Dan di jurang itu adalah tambang timah. Suwito merasa bahwa merawat kuburan itu menjadi tanggung jawab bersama.

Baca Juga: Telisik Awal Sastra Melayu-Tionghoa Lewat Syair Iklan Abad ke-19

Dipelajarilah tulisan di kuburan itu. Sulit sekali untuk menerjemahkannya. Bahkan ahli kuburan Tionghoa pun kesulitan mencari istilahnya. Namun akhirnya ditemukan bahwa ada kata "kapitan", yang memiliki kesamaan dengan istilah pangkat tituler peranakan di Jawa. Ini bukan penemuan pertama, tetapi sebagai bentuk penegasan dari catatan sebelumnya tentang cerita si Mayor Bangka.

Setelah penelusuran kuburan itu, Suwito dan kelompoknya berupaya lebih keras untuk bisa menggaungkan budaya dan sejarah Tionghoa di Bangka. Lalu, munculah nama HETIKA pada  2017. Mereka memperkenalkan budaya Tionghoa lewat karya dokumenter, pameran foto, dan diskusi.

Edukasi menjadi upaya HETIKA untuk tetap melestarikan budaya. Suwito mengakui minimnya edukasi budaya di Bangka. Ini mengingatkan mereka bahwa Bangka berjaya di masa lalu. Dia berharap melalui pengetahuan pula Bangka kembali berjaya di kemudian hari.

“Ibaratnya sebuah emas, kita tidak tahu seberapa berharga nilainya. Dibuang seperti batu biasa. Sama seperti budaya, masih menganggap emas ini seperti batu biasa,” kata Suwito.