Amba Warloka, Sebuah Cawan Peleburan Pusparagam Bangsa di Flores Barat

By National Geographic Indonesia, Sabtu, 5 Desember 2020 | 23:51 WIB
Suasana di Amba Warloka. Para penjual menunggu pembeli yang hendak menawarkan barter. (Boe Berkelana)

Batu Meja dan Batu Balok di Bukit Warloka, beberapa peninggalan purbakala yang masih bisa kita jumpai di Kampung Warloka. (Boe Berkelana )

Pagi itu suasana pasar mulai ramai. Pedagang-pedagang beras berbaris sejajar. Mereka mengisi sisi kiri dan kanan jalan yang menuju tepian laut. Berikutnya, berderet pedagang sayur-sayuran dan hasil kebun lainnya, diikuti para penjual ikan. Orang-orang yang menjual baju menempati gedung pasar yang tak berdinding.

Tak jauh dari lokasi pasar, dermaga Warloka memanjang ke tengah lautan. Membelah teluk kecil yang teduh tanpa gelombang. Orang-orang dari pulau turun dari kapal, naik ke dermaga, berjalan menuju pasar.

Mereka membawa ikan kering juga ikan-ikan besar hasil mancing. Tak jauh di seberang dermaga, rumah-rumah orang kampung Rinca terlihat jelas. Juga beberapa pulau di sekitarnya.

Di pasar, orang-orang bukan hanya bertransaksi. Mereka juga saling bertemu dan bertukar kabar. Saling menawarkan barang jualan dengan menggunakan lebih dari satu bahasa; Manggarai, Bima, Bajo, dan bahasa Indonesia.

Bahasa Manggarai diucapkan orang-orang suku Manggarai yang berasal dari beberapa anak kampung sekitar Warloka. Bahasa Bajo diucapkan oleh orang-orang Suku Bajo yang berasal dari Pulau Rinca, Pulau Mesa, dan Pulau Papagarang. Bahasa Bima diucapkan oleh orang-orang suku Bima yang menetap di pesisir Manggarai dan pulau-pulau sekitar.

Orang-orang pesisir Warloka dan kepulauan adalah poliglot. Mereka bisa berbicara dengan menggunakan lebih dari satu bahasa daerah. Saya tertarik menyaksikan bagaimana mereka melakukan alih kode dan campur kode—berpindah dari bahasa satu ke bahasa lainnya sepanjang percakapan. Pasar Warloka merupakan tempat menyaksikan fenomena dan peristiwa berbahasa dan kebahasaan. Kita bisa menyaksikan bagaimana hubungan masyarakat dan bahasa. Inilah salah satu tempat yang menarik untuk studi sosiolinguistik.

Ibrahim Sabir (45 tahun), salah satu tokoh masyarakat Warloka, mengatakan bahwa sampai awal dekade pertama abad ini, Amba Warloka menjadi pasar utama untuk beberapa wilayah barat Manggarai dan kepulauan.

Baca Juga: Singkap Labuan Bajo: Jejak Perkembangan Kota dan Tradisi Multikultur

Oto Kol, dump truck yang dimodifikasi menjadi mobil penumpang. Setiap Selasa kendaraan ini mengantar penumpang pasar Amba Warloka ke kampung-kampung tetangga. (Boe Berkelana )

Dia memaparkan bahwa orang Manggarai pegunungan turun ke Warloka sembari membawa banyak hasil bumi. Sedangkan, orang-orang kepulauan membawa banyak hasil laut. Pasar ini bukan hanya menjadi tempat perjumpaan suku Manggarai-Bajo-Bima, tetapi juga suku Bugis yang menetap di pesisir Labuan Bajo dan orang-orang Komodo dari Pulau Komodo.

“Amba Warloka ini menjadi pasar yang sangat penting zaman dulu”, kata Ibrahim.