Kabar di Balik Keresahan-keresahan Anak Muda Pesisir Wairhubing

By National Geographic Indonesia, Sabtu, 12 Desember 2020 | 13:15 WIB
Spesies Gorgonian sp. atau biasa dikenal dengan Karang Kipas (Sea Fan) tumbuh menghiasi titik penyelaman di pulau Pangabatang sebelah utara, Taman Wisata Alam Laut Gugus Pulau-Teluk Maumere, Kabupaten Sikka. (Maumere Diving Community (MDC).)

Roy, sebagaimana anak muda lainnya yang tergabung dalam KOPIKOW, adalah sekumpulan pemuda bertato. Komunitas ini belum genap setahun. Layaknya bayi yang merangkakpun belum mampu. Namun, semangat dan idealismenya sudah melangkah jauh ke depan.

Tak jauh dari Pantai Wairhubing, sekitar 5 menit berjalan kaki, terdapat basecamp Maumere Diving Community (MDC). Kelompok pecinta dunia selam yang berbasis di Maumere.

“Kita (Maumere) itu hanya punya Tempat Penampungan Ikan (TPI) yang besar, namun nyatanya hasil tangkapan ikan nelayan Maumere sebagian besar banyak diambil dari perairan di sekitar Larantuka, Solor, Adonara. Laut di sekitar Maumere minim tangkapan (ikan),” keluh Bram.

Baca Juga: Amba Warloka, Sebuah Cawan Peleburan Pusparagam Bangsa di Flores Barat

Kumpulan karang lunak (soft-coral) dan karang keras (hard coral) yang terdapat pada titik penyelaman di pulau Pangabatang sebelah utara. Titik penyelaman ini merupakan satu dari total 32 titik penyelaman di Taman Wisata Alam Laut (TWAL) Gugus Pulau-Teluk Maumere, yang sudah dipetakan oleh Maumere Di (Maumere Diving Community (MDC).)

Faktanya, laut di sekitar kota Maumere termasuk ke dalam Segitiga Terumbu Karang Dunia. Satu kawasan bahari yang menyimpan 76 persen spesies terumbu karang dunia, yang seharusnya menyimpan kekayaan ikan yang luar biasa.

Beberapa nelayan masih ada yang menangkap ikan dengan tidak sustainable. Penggunaan bom ikan, racun potasium sianida dan pukat harimau dinilai sangat meresahkan. Hal-hal destruktif seperti tadi sungguh melukai ekosistem terumbu karang tempat hidup ikan-ikan yang justru menjadi sumber nafkah nelayan itu sendiri.

Maumere Diving Community bergerak dari kekhawatiran tersebut. “Kami juga ingin membantu mengembalikan wajah dunia bahari Maumere seperti dulu,”ucap Bram.

Maumere sebelum tsunami menghantam pada Desember 1992 adalah nirwana bagi penikmat dunia bawah laut. Dua puluh delapan tahun sejak peristiwa nahas itu, Maumere mulai bangkit dengan segala daya upaya. Perlahan, dunia bawah laut Maumere kembali bersolek. Dibantu dengan kerja swadaya dari para kaum muda kreatif yang tergabung salah satunya di Maumere Diving Community.

Baca Juga: Simbol Perempuan di Kampung Tua Wologai

Pantai Waiara, Maumere, hari itu cukup lengang. Cuaca cerah dan sesekali berawan. Sesuai rencana, akan ada 120 modul transplantasi yang akan dipasang di dasar laut pada kedalaman tujuh meter. Semua modul terbuat dari campuran pasir dan semen, kemudian ditambahkan sepotong pipa PVC berdiameter tiga sentimeter serta panjang 15 sentimeter. Proses transplantasi dilakukan oleh sekitar selusin penyelam bersertifikasi yang semuanya adalah orang muda lokal.

“Ke depannya situs transplantasi ini akan kami jadikan semacam bank benih. Kita akan pantau terus tingkat pertumbuhannya setiap dua bulan sekali,” tambah Yohanes Saleh, instruktur selam MDC.

Transplantasi karang diharapkan dapat mempercepat regenerasi terumbu karang yang sudah rusak. Kegiatan ini dapat dipakai pula untuk membangun daerah terumbu karang baru, yang sebelumnya tidak ada. Selain itu, kegunaannya juga untuk menambah karang dewasa ke dalam populasi sehingga produksi larva di ekosistem terumbu karang yang rusak dapat ditingkatkan kembali.

Geliat konservasi yang digaungkan Maumere Diving Community perlahan mulai Pertumbuhan minat akan dunia selam di kota Maumere perlahan mulai merangkak naik. Kepedulian masyarakat akan konservasi terumbu karangpun mengikuti. Maumere sudah seharusnya berbenah. Transplantasi Karang yang dilakukan adalah langkah awal untuk sebuah mimpi besar: mengembalikan kecantikan dunia bahari di laut sekitar Maumere. Perlahan, namun pasti.

Ikhtiar menjaga denyut nadi konservasi ini alangkah baiknya dipupuk dan selalu dijaga dalam setiap rentang usia kita. Seperti halnya yang dilakukan oleh Guru Besar Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin, Profesor Ngakan Putu Oka, ketika mengunjungi Taman Nasional Taka Bonerate. ”Jika benteng terakhir ini terganggu," ujarnya, "maka harapan manusia tidak ada lagi. Benteng itu bernama ekologi.”

UNTOLD FLORES EXPEDITION merupakan perjalanan untuk menyingkap sejarah, budaya, alam, dan cerita manusia di Flores, Nusa Tenggara Timur. Tujuannya, membangkitkan gairah perjalanan wisata berbasiskan narasi tentang sebuah tempat, sekaligus membangun kesadaran warga dan pejalan tentang pentingnya memuliakan nilai-nilai kampung halaman. Perjalanan ini merupakan bagian penugasan National Geographic Indonesia,yang didukung oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia.