Cerita dan foto oleh Boe Berkelana
Nationalgeographic.co.id—Berjarak sekitar 30 kilometer arah barat daya Kota Labuan Bajo, sebuah pasar tradisional merawat jejak dari masa lalu. Di pasar ini, bukan hanya ikan yang masih setia bisa ditukar dengan daun singkong, tetapi juga orang-orang lintas kawasan saling bertemu dan bertukar kabar.
Nama pasarnya, Amba Warloka. Kata "amba" berarti pasar, yang diambil dari bahasa Bima, Sumbawa, Nusa Tenggara Barat. Padahal, lokasi pasarnya di wilayah Manggarai, Flores, Nusa Tenggara Timur.
Saya dan tiga teman tiba di mulut Kampung Warloka ketika gelap telah pergi dengan sempurna. Akses jalan raya dari Labuan Bajo menuju Warloka belum seluruhnya beraspal. Bersama dua sepeda motor matic yang kami kendarai, perjalanan menjadi sedikit lebih lambat dan pelan. Sesekali, kawan pembonceng mesti turun dan berjalan kaki ketika hendak melewati jalan mendaki dan turunan tajam. Betapa tidak? Lubang-lubang di beberapa ruas jalan menganga dan itu sungguh berbahaya.
Kampung Warloka bersuasana perkampungan khas pesisir. Rumah-rumah panggung berdiri di atas pasir, beberapa yang lainnya rumah batu. Jalan raya lurus menembus tepi laut. Dari atas bukit yang letaknya persis di mulut kampung, kita bisa menyaksikan suasana pasar.
Baca Juga: Go Laba, Soliditas Orang-orang Bajawa Membangun Kebersamaan
Beberapa sepeda motor lainnya menderu memasuki kampung. Membawa barang dagangan yang diikat di jok sepeda motor. Setelah melewati mulut kampung, dua ekor kerbau berdiri di pinggir jalan. Di rerumputan tampak beberapa wosa, anyaman daun lontar untuk mengangkut barang bawaan). Dua pelana yang terbuat dari anyaman pandan juga tergolek di rerumputan.
Kami datang pada Selasa, hari pasar Amba Warloka. Ini kali kedua saya ke Warloka. Berbeda dengan kali ini melalui jalur darat, kesempatan sebelumnya kami ke Warloka melalui jalur laut. Dengan perahu, Labuan Bajo ke Warloka ditempuh sekitar dua jam.
Saya mendengar Amba Warloka dari cerita-cerita orang tua ketika saya masih bersekolah dasar. Kampung saya berada di balik gunung dari Warloka. Dahulu, orang-orang kampung berjalan berhari-hari ke Warloka, membawa hasi bumi. Pulangnya, mereka membawa ikan dan barang kebutuhan sehari-hari.
Dahulu, kampung ini adalah pelabuhan laut lintas bangsa. Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, pernah melakukan penelitian di Warloka pada 1981. Mereka menemukan menhir, dolmen, alat batu, gerabah, hingga keramik. Penemuan itu tersebar di beberapa titik di sekitar kampung. Belakangan, beberapa mahasiswa Arkeologi Universitas Gadjah Mada juga melakukan ekskavasi. Hasilnya, beberapa jenis gerabah yang diduga dari Tiongkok.
Baca Juga: Simbol Perempuan di Kampung Tua Wologai
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR