Cerita oleh Mikael Jefrison Leo
Nationalgeographic.co.id—“Ayo cepat! Pantainya masih sepi,” seru seorang ibu muda bertopi merah kepada rekannya. Dia menjadikan dirinya penanda bagi rombongan yang menyusul di belakangnya agar berhenti di tempat yang sama. Kemudian tikar mulai dibentangkan. Kotak-kotak makanan dibuka. Maka dimulailah perbincangan seru di antara mereka.
Pantai Wairhubing cukup unik karena ditumbuhi banyak pohon kelapa dan ketapang sepanjang hampir dua kilometer. Formasi kelapa dan ketapang menciptakan tutupan kanopi yang cukup rapat. Seakan-akan tidak mengizinkan sinar matahari menembus sampai ke tanah. Tak heran banyak pengunjung datang kemari karena ingin bersantai di pinggir pantai tanpa harus kepanasan.
“Ada [kerja] bakti, clean-up di [pantai] Wairhubing. Mari gabung,” ajak Adrianus Ratu, Ketua Komunitas Maumere Diving.
Saya mengiyakan ajakannya.
Kegiatan Clean-up di Pantai Wairhubing hampir dilakukan setiap hari. Hanya pada akhir pekan, frekuensi kerja agak ditambah karena banyaknya pengunjung. Daun-daun ketapang banyak yang tanggal dari ranting pohon dan jatuh ke pasir pantai. Pemandangan pantai jadi tidak elok karena tertutup serasah, dan juga sampah pengunjung yang datang.
Baca Juga: Go Laba, Soliditas Orang-orang Bajawa Membangun Kebersamaan
Dari sinilah muncul kekhawatiran Ambrosius Roylland Moat Laka, pemuda setempat, akan nasib pantainya. Dia mulai mengajak anak muda di sekitar rumahnya untuk bekerja.
“Daripada duduk-duduk tidak jelas, mendingan kita kumpul dan buat sesuatu,” ujarnya. Dengan berbekal sebilah besi baja, dia dan anak muda yang lain mulai mengumpulkan serasah ketapang. “Pakai ini kemudian tinggal tusuk saja ke daun yang ada di tanah. Lama-lama akan terkumpul banyak hingga menyerupai daging pada tusuk sate,” imbuhnya.
Roylland menginisiasi berdirinya KOPIKOW—Komunitas Peduli Kompleks Wairhubing-Watuliwung-Wetakara. Isinya anak-anak muda enerjik dan kreatif yang punya kepedulian tinggi akan daerah pesisir pantai tempat mereka tinggal.
Kawasan Wairhubing-Watuliwung-Wetakara merupakan kawasan pesisir pantai yang berjarak sekitar tujuh kilometer ke arah timur dari Kota Maumere. Setiap hari mereka dengan sukarela membersihkan pantai dari serasah dan sampah.
“Kami kerja sukarela dari jam empat sore sampai jam enam sore,” ucap Roy. Sebuah ikhtiar yang tulus dan mulia. Melebihi kemasan luar yang teman-teman ini tampilkan pada kesehariannya.
Roy, sebagaimana anak muda lainnya yang tergabung dalam KOPIKOW, adalah sekumpulan pemuda bertato. Komunitas ini belum genap setahun. Layaknya bayi yang merangkakpun belum mampu. Namun, semangat dan idealismenya sudah melangkah jauh ke depan.
Tak jauh dari Pantai Wairhubing, sekitar 5 menit berjalan kaki, terdapat basecamp Maumere Diving Community (MDC). Kelompok pecinta dunia selam yang berbasis di Maumere.
“Kita (Maumere) itu hanya punya Tempat Penampungan Ikan (TPI) yang besar, namun nyatanya hasil tangkapan ikan nelayan Maumere sebagian besar banyak diambil dari perairan di sekitar Larantuka, Solor, Adonara. Laut di sekitar Maumere minim tangkapan (ikan),” keluh Bram.
Baca Juga: Amba Warloka, Sebuah Cawan Peleburan Pusparagam Bangsa di Flores Barat
Faktanya, laut di sekitar kota Maumere termasuk ke dalam Segitiga Terumbu Karang Dunia. Satu kawasan bahari yang menyimpan 76 persen spesies terumbu karang dunia, yang seharusnya menyimpan kekayaan ikan yang luar biasa.
Beberapa nelayan masih ada yang menangkap ikan dengan tidak sustainable. Penggunaan bom ikan, racun potasium sianida dan pukat harimau dinilai sangat meresahkan. Hal-hal destruktif seperti tadi sungguh melukai ekosistem terumbu karang tempat hidup ikan-ikan yang justru menjadi sumber nafkah nelayan itu sendiri.
Maumere Diving Community bergerak dari kekhawatiran tersebut. “Kami juga ingin membantu mengembalikan wajah dunia bahari Maumere seperti dulu,”ucap Bram.
Maumere sebelum tsunami menghantam pada Desember 1992 adalah nirwana bagi penikmat dunia bawah laut. Dua puluh delapan tahun sejak peristiwa nahas itu, Maumere mulai bangkit dengan segala daya upaya. Perlahan, dunia bawah laut Maumere kembali bersolek. Dibantu dengan kerja swadaya dari para kaum muda kreatif yang tergabung salah satunya di Maumere Diving Community.
Baca Juga: Simbol Perempuan di Kampung Tua Wologai
Pantai Waiara, Maumere, hari itu cukup lengang. Cuaca cerah dan sesekali berawan. Sesuai rencana, akan ada 120 modul transplantasi yang akan dipasang di dasar laut pada kedalaman tujuh meter. Semua modul terbuat dari campuran pasir dan semen, kemudian ditambahkan sepotong pipa PVC berdiameter tiga sentimeter serta panjang 15 sentimeter. Proses transplantasi dilakukan oleh sekitar selusin penyelam bersertifikasi yang semuanya adalah orang muda lokal.
“Ke depannya situs transplantasi ini akan kami jadikan semacam bank benih. Kita akan pantau terus tingkat pertumbuhannya setiap dua bulan sekali,” tambah Yohanes Saleh, instruktur selam MDC.
Transplantasi karang diharapkan dapat mempercepat regenerasi terumbu karang yang sudah rusak. Kegiatan ini dapat dipakai pula untuk membangun daerah terumbu karang baru, yang sebelumnya tidak ada. Selain itu, kegunaannya juga untuk menambah karang dewasa ke dalam populasi sehingga produksi larva di ekosistem terumbu karang yang rusak dapat ditingkatkan kembali.
Geliat konservasi yang digaungkan Maumere Diving Community perlahan mulai Pertumbuhan minat akan dunia selam di kota Maumere perlahan mulai merangkak naik. Kepedulian masyarakat akan konservasi terumbu karangpun mengikuti. Maumere sudah seharusnya berbenah. Transplantasi Karang yang dilakukan adalah langkah awal untuk sebuah mimpi besar: mengembalikan kecantikan dunia bahari di laut sekitar Maumere. Perlahan, namun pasti.
Ikhtiar menjaga denyut nadi konservasi ini alangkah baiknya dipupuk dan selalu dijaga dalam setiap rentang usia kita. Seperti halnya yang dilakukan oleh Guru Besar Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin, Profesor Ngakan Putu Oka, ketika mengunjungi Taman Nasional Taka Bonerate. ”Jika benteng terakhir ini terganggu," ujarnya, "maka harapan manusia tidak ada lagi. Benteng itu bernama ekologi.”
UNTOLD FLORES EXPEDITION merupakan perjalanan untuk menyingkap sejarah, budaya, alam, dan cerita manusia di Flores, Nusa Tenggara Timur. Tujuannya, membangkitkan gairah perjalanan wisata berbasiskan narasi tentang sebuah tempat, sekaligus membangun kesadaran warga dan pejalan tentang pentingnya memuliakan nilai-nilai kampung halaman. Perjalanan ini merupakan bagian penugasan National Geographic Indonesia,yang didukung oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia.