Tiga Unsur Pembentuk Kampung Adat di Wilayah Wolotolo-Ende Lio

By National Geographic Indonesia, Selasa, 15 Desember 2020 | 10:59 WIB
Sao Ria atau rumah khas etnis Lio menjadi struktur bangunan yang dominan kita jumpai selama mengunjungi Kampung Tradisional Wologai, Desa Wologai Tengah, Kecamatan Detusoko, Kabupaten Ende. (Mikael Jefrison Leo)

Cerita oleh Rio Nanto dan foto oleh Mikael Jefrison Leo

Nationalgeographic.co.id—Setiap kampung adat di Flores memiliki unsur penting yang memiliki makna mendalam bagi masyarakat yang mendiaminya. Seperti kampung tradisional di wilayah Lio-Ende dengan bentuk denah dan rumah yang khas.

Setiap kampung Lio-Ende pada umumnya dikelilingi pagar baru (kota). Di pinggir luar kampung terdapat sejumlah lumbung (kebo) dan pohon beringin besar. Rumah-rumah masyarakat letaknya membentuk lingkaran mengelilingi pelataran utama yang terdiri atas keda (rumah leluhur), sa’o ria (rumah induk), kanga (pelataran tempat upacara). Di tengah kanga didirikan sebuah tiang batu (tubu/musumase) dengan sebuah batu ceper di bawahnya (lodo nda), tempat dilaksanakan ritus-ritus adat.

Untuk membentuk sebuah kampung adat baru bagi masyarakat di Ende Lio perlu adanya tiga unsur penting yaitu tubumusu, keda, dan kanga. Tiga elemen ini menjadi pusat perhatian dari sebuah kampung adat. Menariknya, bahwa tidak semua kampung di wilayah Ende Lio bisa membuka kampung adat baru. Yang berhak membuka kampung baru dengan tiga unsur pembentuknya adalah seseorang atau kampung yang memiliki relasi kekerabatan atau keturuan langsung Embu Nggoro-Lepembusu yang merupakan nenek moyang pertama orang Ende Lio.  

Salah satu kampung adat yang memiliki hubungan kekerabatan langsung dengan Embu Nggoro-Lepembusu ialah kampung adat Wolotolo. Pemilihan nama kampung ini berdasarkan letak geografisnya yang berada di ketinggian.

Secara etimologis Wolotolo berasal dari dua kata dari bahasa Lio, yakni wolo yang berarti bukit/gunung dan tolo berarti ketinggian. Berdasarkan asal katanya, Wolotolo berarti bukit di atas ketinggian. Pada umumnya masyarakat di Lio memilih untuk menetap di tempat yang tinggi untuk memantau keadaan di dataran rendah.

Baca Juga: Herman Willem Daendels dalam Pemberantasan Korupsi di Hindia Belanda

Tubumusu berasal dari dua kata Lio yakni tubu yang berarti pangkal yang tersisa ketika dipotong (dalam konteks ini adalah batu) dan musu berarti mengisap atau isap. Secara harfiah, Tubumusu berarti batu pengisap. Tubumusu secara khusus ialah sebuah batu keramat yang terletak di tengah kampung. Bagi orang Wolotolo, tubumusu menjadi tempat warga kampung mempersembahkan sesajen untuk memohon kepada Du’a Nggae (wujud tertinggi).

Proses pembuatan tubumusu diawali dengan pertemuan para mosalaki (tua adat). Biasanya pemilihan batu tubumusu diambil dari wilayah tanah ulayat sendiri. Sebelum batu tersebut diantar ke kampung terlebih dahulu diperciki dengan darah kerbau. Pada waktu diarak ke kampung, tubumusu dibungkus dengan kain adat dan diiringi dengan tarian. Sebelum batu tersebut didirikan, terlebih dahulu warga menggali lubang dan membuat dasar yang kuat.

Kemudian Keda yang dalam bahasa Lio berarti bangunan tradisional dengan atap alang-alang yang menjulang tinggi. Keda digunakan sebagai balai musyawarah para pemuka adat atau mosalaki, tempat penyimpanan benda-benda peninggalan sejarah, sebagai simbol manusia pertama, sebagai tempat tinggal roh-roh serta diyakini bahwa bangunan ini memiliki hubungan spiritual.

Terakhir Kanga, merupakan pelataran suci di tengah-tengah kampung adat yang berdekatan dengan keda dengan luas sekitar 10 meter. Pada bagian pusatnya terdapat tubumusu. Kanga juga menjadi pusat segala ritus keagamaan asli suku Lio. Ia diasosiasikan oleh masyarakat Lio sebagai simbol perempuan dan tubumusu sebagai figur laki-laki. Perkawinan kosmos yang terjadi akhirnya melahirkan kelimpahan bagi manusia melalui rahim kanga.  

Kanga sebagai pelataran suci di kampung adat Wolotolo memiliki enam buah tangga dari susunan batu alam. Dua buah tangga di depan pintu masuk memiliki fungsi yang berbeda. Bagian kanan khusus untuk manusia sedangkan bagian kiri hanya untuk hewan kurban.

Kemudian dua buah tangga di bagian timur merupakan pintu masuk utama menuju kanga. Pada umumnya, banyak orang yang hendak menuju ke kanga melewati tangga ini. Selain itu, terdapat dua buah tangga yang sangat tinggi menghubungkan kanga dengan pemukiman warga di bagian utara. Kedua tangga ini tidak memiliki pagar pelindung sehingga jarang orang melewati tangga ini pada hari biasa, tetapi pada pesta adat, tangga ini hanya dilewati oleh mosalaki dan ana kalo fai walu dari Embu Bapu dan Embu Ndosi.

Baca Juga: Cerita Perempuan Tionghoa dalam Lintasan Peristiwa Sejarah Indonesia

Tubumusu, keda dan kanga menjadi simbol utama kampung adat Wolotolo. Tubumusu dipandang sebagai lambang kekuasaan atau keperkasaan mosalaki (tetua adat) sekaligus sebagai kelanjutan wewenang yang diwariskan oleh leluhur.

Sedangkan kanga merupakan pelataran yang melingkari tubumusu, sebagai pusat segala ritus seremoni adat sekaligus tempat berlangsungnya gawi (tarian adat Ende Lio) ketika ada ritus tertentu.

Tubumusu berbentuk lonjong dan kanga berbentuk lingkaran yang secara asosiatif menghubungkan orang pada bentuk kelamin laki-laki dan perempuan. Hal ini juga dihubungkan dengan ungkapan pada saat memberikan sesajen di pelataran suci yakni “pa’a gha fi’i tubu, rewu gha wiwi kanga” yang berarti “berilah makanan untuk tubumusu, tebarlah melalui mulut kanga”.

Mulut atau wiwi pada kanga dapat diasosiakan dengan kelamin perempuan dan tubumusu adalah simbol laki-laki perkasa yang sepadan dengan watu (batu), kekuatan yang menyiram kanga yang adalah perempuan yang dihubungkan dengan tanah, kekuatan yang merahimi dan menumbuhkan kehidupan yang sering disebut perkawinan kosmos.  

Selanjutnya, salah satu unsur lain pembentuk kampung adat ialah keda. Syarat utama agar boleh membangun keda di wilayah Lio dan sekitarnya ialah hubungan kekerabatan atau keturunan langsung Lepembusu. Keda semacam kuil ini menjadi tempat berdiam leluhur yang dipandang sebagai tempat keramat yang bisa membantu dan mencelakakan manusia. Oleh karena itu, orang dilarang untuk menyentuh keda sesukanya atau menarik alang-alang dari atapnya terutama kaum perempuan.

UNTOLD FLORES merupakan perjalanan untuk menyingkap sejarah, budaya, alam, dan cerita manusia di Flores, Nusa Tenggara Timur. Tujuannya, membangkitkan gairah perjalanan wisata berbasiskan narasi tentang sebuah tempat, sekaligus membangun kesadaran warga dan pejalan tentang pentingnya memuliakan nilai-nilai kampung halaman. Perjalanan ini merupakan bagian penugasan National Geographic Indonesia,yang didukung oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia.