Pesona Lada Aceh, dari Ottoman hingga Eropa Barat

By Fathia Yasmine, Minggu, 27 Desember 2020 | 10:43 WIB
Tanaman lada (Shutterstock)

Namun, ajakan tersebut kemudian ditolak yang akhirnya membuat Aceh melayangkan ancaman untuk menyerang Kerajaan Batak. Kedatangan prajurit dan persenjataan inilah yang akhirnya membuat Kerajaan Batak runtuh seketika, setelah sebelumnya memenangkan perang.

Selanjutnya, dikutip dari publikasi berjudul Lada Si Emas Panas: Dampaknya bagi Kesultanan Aceh dan Kesultanan Banten. Kesultanan Aceh kembali memohon bantuan persenjataan berat Turki di tahun 1560-an untuk menyerang Malaka.

 Baca Juga: Tiga Unsur Pembentuk Kampung Adat di Wilayah Wolotolo-Ende Lio

Sayangnya, perjalanan tidak semudah bayangan, berbagai hambatan dirasakan oleh para duta selama penugasannya. Mereka terpaksa memakan nasi dari beras perbekalan hingga menjual sisa-sisa lada demi bertahan hidup.

Akhirnya, setelah tiga tahun perjalanan, para duta akhirnya berhasil menemui Kesultanan Turki dengan sisa upeti berupa secupak (sekitar 675) gram lada.

Beruntung, Sultan Ottoman berbaik hati dan membalas upeti yang diharapkan, yakni meriam-meriam yang dinamakan secupak dan tukang untuk membangun benteng besar di Aceh.

Berbeda dengan sebelumnya, bantuan ini merupakan bantuan belas kasihan yang diberikan Kerajaan Ottoman kepada Kesultanan Aceh. Beberapa tahun selanjutnya, Aceh kemudian menyerang Portugis di Malaka, lagi-lagi dengan bantuan prajurit Turki dan persenjataannya.

Baca Juga: Rentetan Praktik Korupsi Pemantik Perang Jawa Pangeran Dipanagara

Persekutuan Turki dan Aceh inilah yang akhirnya membuat Aceh memperkuat posisinya sebagai pemasok lada utama bagi perdagangan Islam.

Di akhir abad ke-18, perkembangan lada di daerah selatan pantai barat Sumatera terus mengalami kenaikan.  Akhirnya, Kesultanan Aceh berhasil menyediakan hampir setengah dari pasokan lada dunia, berkat wilayah kekuasaannya yang besar.

Permintaan lada yang besar dengan harga yang tinggi, membuat Kesultanan Aceh berada “di atas angin” pada masa itu. Pemasukan devisa kas yang sangat besar, serta antusiasme dan banyaknya wilayah perkebunan, membuat Aceh tersohor hingga ke benua Eropa.

Keruntuhan komoditas Lada

Layaknya dongeng, kemahsyuran Kesultanan Aceh dengan perdagangan lada, perlahan mengalami keruntuhan. Pada akhir abad ke 18-19, kekuasaan sultan-sultan Aceh terhadap pelabuhannya semakin melemah.

Baca Juga: LIPI Menerbitkan Buku Berseri Tentang Perhitungan Danau di Indonesia

Dikutip dari buku Witnesses to Sumatra: a travellers anthology, adanya diplomasi kapal perang, di mana keramah tamahan para kapten menjadi kunci kepercayaan pedagang lada di Aceh, serta adanya ketidakstabilan harga, membuat banyak konflik tidak mudah diselesaikan. Bahkan oleh otoritas politik Aceh.

Akibatnya, penggunaan senjata api dan kekerasan acap kali terjadi. Kerumitan konflik yang berkepanjangan antara pedagang lokal serta pemilik kapal, membuat penjualan lada kian menurun.

Di sisi lain, kedatangan Belanda yang menduduki Kesultanan Aceh pada 1903, membuat perdagangan lada berpindah tangan dan dimonopoli oleh Belanda. Ketidakbijakan pengelolaan serta ambisi yang dilakukan oleh Kesultanan Aceh di masa lampau, membuat lada menjadi rempah yang kaya rasa, sekaligus nilai historikal bersejarah.