Pesona Lada Aceh, dari Ottoman hingga Eropa Barat

By Fathia Yasmine, Minggu, 27 Desember 2020 | 10:43 WIB
Tanaman lada (Shutterstock)

Nationalgeographic.co.id – Menjadi salah satu bumbu rempah yang digunakan ketika memasak, siapa sangka keberadaan butiran-butiran lada pernah diburu seantero dunia di abad perniagaan.

Bahkan, perdagangan Lada berhasil mencapai puncak kejayaan pada abad ke-16, sekaligus menobatkan Aceh sebagai pusat perdagangan Lada terbesar di dunia. Namun, di balik catatan sejarah lada, rupanya tersimpan banyak cerita yang melatarbelakangi terbentuknya komoditi ini.

Pada awalnya, lada Aceh bukanlah suatu komoditas perdagangan yang menghasilkan banyak uang. Budidayanya lebih banyak dilakukan di lereng pegunungan dan di tepi pantai barat. Alasan banyaknya budidaya ini disebabkan oleh mudahnya penanaman lada di masa itu.

Cukup taburkan benih lada dan simpan beberapa batang kayu, tanaman lada akan melilitkan diri pada benda yang berdiri di dekatnya. Dalam waktu singkat, daunnya yang hijau dengan permukaan yang mengkilap, perlahan menghasilkan bunga dan bulir-bulir buah yang tumbuh sebagai buah lada.

Baca Juga: Melihat Ulang Bagaimana Sudut Pandang Menjadi Seorang Pejalan

Banyaknya hasil panen yang ada, membuat Kesultanan Aceh akhirnya memilih lada sebagai alat untuk menggenjot perekonomian.  Dengan cepat, Aceh juga berhasil memperluas kebun lada di Sumatera, serta menemukan jalur pengapalan lada langsung ke Laut Merah, sebagai gerakan ekspansi bisnis ke wilayah Eropa.

Sementara, para pedagang dari Inggris, Prancis, Denmark, Portugis, dan Prancis berlomba-lomba untuk mendapatkan izin membeli lada dari Kesultanan Aceh. Mereka harus terus berjuang untuk mendapatkan muatan terbatas dari pos-pos dagang yang ada di Aceh.

Alat diplomasi

Menyadari potensi dari komoditas lada, Kesultanan Aceh akhirnya menggunakan lada sebagai bagian dari alat diplomasi politik. Salah satunya dengan mendekatkan hubungan dengan Ottoman-Turki melalui pemberian upeti.

Lewat keberhasilan diplomatis ini, Kesultanan Aceh mulai menjahit rencana untuk melakukan ekspansi kekuasaan. Kesultanan Aceh mulai melakukan serangan ke Kerajaan Batak lewat bantuan pasukan Turki yang dibayar dengan empat kapal lada.

Baca Juga: Untold Flores: Berbagi Cerita Tentang Makna Sebuah Perjalanan

Dikutip dari laman Historia, Sultan Aceh sebelumnya mengirim duta ke Kerajaan batak sebelum tahun 1539, dengan maksud mengajak Raja Batak untuk memeluk agama Islam.

Namun, ajakan tersebut kemudian ditolak yang akhirnya membuat Aceh melayangkan ancaman untuk menyerang Kerajaan Batak. Kedatangan prajurit dan persenjataan inilah yang akhirnya membuat Kerajaan Batak runtuh seketika, setelah sebelumnya memenangkan perang.

Selanjutnya, dikutip dari publikasi berjudul Lada Si Emas Panas: Dampaknya bagi Kesultanan Aceh dan Kesultanan Banten. Kesultanan Aceh kembali memohon bantuan persenjataan berat Turki di tahun 1560-an untuk menyerang Malaka.

 Baca Juga: Tiga Unsur Pembentuk Kampung Adat di Wilayah Wolotolo-Ende Lio

Sayangnya, perjalanan tidak semudah bayangan, berbagai hambatan dirasakan oleh para duta selama penugasannya. Mereka terpaksa memakan nasi dari beras perbekalan hingga menjual sisa-sisa lada demi bertahan hidup.

Akhirnya, setelah tiga tahun perjalanan, para duta akhirnya berhasil menemui Kesultanan Turki dengan sisa upeti berupa secupak (sekitar 675) gram lada.

Beruntung, Sultan Ottoman berbaik hati dan membalas upeti yang diharapkan, yakni meriam-meriam yang dinamakan secupak dan tukang untuk membangun benteng besar di Aceh.

Berbeda dengan sebelumnya, bantuan ini merupakan bantuan belas kasihan yang diberikan Kerajaan Ottoman kepada Kesultanan Aceh. Beberapa tahun selanjutnya, Aceh kemudian menyerang Portugis di Malaka, lagi-lagi dengan bantuan prajurit Turki dan persenjataannya.

Baca Juga: Rentetan Praktik Korupsi Pemantik Perang Jawa Pangeran Dipanagara

Persekutuan Turki dan Aceh inilah yang akhirnya membuat Aceh memperkuat posisinya sebagai pemasok lada utama bagi perdagangan Islam.

Di akhir abad ke-18, perkembangan lada di daerah selatan pantai barat Sumatera terus mengalami kenaikan.  Akhirnya, Kesultanan Aceh berhasil menyediakan hampir setengah dari pasokan lada dunia, berkat wilayah kekuasaannya yang besar.

Permintaan lada yang besar dengan harga yang tinggi, membuat Kesultanan Aceh berada “di atas angin” pada masa itu. Pemasukan devisa kas yang sangat besar, serta antusiasme dan banyaknya wilayah perkebunan, membuat Aceh tersohor hingga ke benua Eropa.

Keruntuhan komoditas Lada

Layaknya dongeng, kemahsyuran Kesultanan Aceh dengan perdagangan lada, perlahan mengalami keruntuhan. Pada akhir abad ke 18-19, kekuasaan sultan-sultan Aceh terhadap pelabuhannya semakin melemah.

Baca Juga: LIPI Menerbitkan Buku Berseri Tentang Perhitungan Danau di Indonesia

Dikutip dari buku Witnesses to Sumatra: a travellers anthology, adanya diplomasi kapal perang, di mana keramah tamahan para kapten menjadi kunci kepercayaan pedagang lada di Aceh, serta adanya ketidakstabilan harga, membuat banyak konflik tidak mudah diselesaikan. Bahkan oleh otoritas politik Aceh.

Akibatnya, penggunaan senjata api dan kekerasan acap kali terjadi. Kerumitan konflik yang berkepanjangan antara pedagang lokal serta pemilik kapal, membuat penjualan lada kian menurun.

Di sisi lain, kedatangan Belanda yang menduduki Kesultanan Aceh pada 1903, membuat perdagangan lada berpindah tangan dan dimonopoli oleh Belanda. Ketidakbijakan pengelolaan serta ambisi yang dilakukan oleh Kesultanan Aceh di masa lampau, membuat lada menjadi rempah yang kaya rasa, sekaligus nilai historikal bersejarah.