Nationalgeographic.co.id—Populasi poksai mantel (Sunda laughingthrush) kian terancam selama tiga dekade terakhir. Para peneliti beranggapan, maraknya penjualan tak terkontrol pada satwa endemik Indonesia bagian barat ini, menjadi faktornya.
Dalam publikasinya di European Journal of Wildlife Research, mereka menyurvei perdagangan burung di 39 kota dari seluruh Indonesia sejak 1991 hingga 2020. Kota tertinggi dalam penjualan poksai mantel terdapat di Medan, Jakarta, Cirebon, dan Denpasar.
Para peneliti mengungkapkan pada 1990-an terdapat sekitar 50 burung per survei, kemudian menjadi sekitar 20 burung per survei pada 2000-an, dan kurang dari 10 burung per survei pada 2010-an.
Baca Juga: Plastik yang Dimakan Burung Laut Lepaskan Bahan Kimia Beracun ke Pencernaannya
Awalnya mereka berasumsi penurunan perdagangan burung tersebut berhubungan dengan redupnya tren dan kebutuhan kolektor. Namun, kolektor memilih burung kicau spesies lainnya, karena poksai mantel sudah langka di pasaran.
"Jika karena kebutuhannya menurun, (dugaan) itu tidak pas," terang Muhammad Ali Imron, Departemen Konservasi Hutan Fakultas Kehutanan UGM yang tergabung dalam penelitian ini saat dihubungi National Geographic Indonesia, Rabu (30/12). "Tapi disebabkan karena stoknya di alam liar yang mengalami penurunan,"
Imron menambahkan, bahwa ada banyak spesies burung kicau yang sudah punah di alam liar dan telah lenyap di pasar. Fenomena inilah yang menjadi konsenterasi penelitian pada poksai mantel, yang kemudian berisiko dieksploitasi sebagai pengganti yang sudah punah untuk dikoleksi.
Baca Juga: Mutasi Baru COVID-19 Muncul di Beberbagai Negara, Bagaimana Bisa?
Dari survei terhadap kota dengan penjualan tinggi poksai mantel, Medan mengalami penurunan yang sangat signifikan, dan Jakarta berkurang secara bertahap.
Mereka memperkirakan burung poksai mantel ini berasal dari alam liar yang ditangkap, bukan dari penangkaran komersil. Mengingat tidak ditemukan adanya catatan penangkaran yang diketahui untuk spesies tersebut, tulis mereka.
Poksai mantel berhabitat di hutan hujan Sumatera dan Kalimantan, tapi keberadaannya terusik semenjak maraknya pembalakan liar, penambangan, dan pertanian selama beberapa dekade terakhir.
Baca Juga: Tak Hanya Sebabkan Krisis Kesehatan dan Ekonomi, Covid-19 Turut Ancam Keberlangsungan Ekosistem Laut