Eksploitasi Perdagangan Satwa Sebabkan Populasi Poksai Mantel Langka

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Rabu, 6 Januari 2021 | 22:00 WIB
Poksai Mantel (Sunda Laughingthrush) (John S. Ascher)

Nationalgeographic.co.id—Populasi poksai mantel (Sunda laughingthrush) kian terancam selama tiga dekade terakhir. Para peneliti beranggapan, maraknya penjualan tak terkontrol pada satwa endemik Indonesia bagian barat ini, menjadi faktornya.

Dalam publikasinya di European Journal of Wildlife Research, mereka menyurvei perdagangan burung di 39 kota dari seluruh Indonesia sejak 1991 hingga 2020. Kota tertinggi dalam penjualan poksai mantel terdapat di Medan, Jakarta, Cirebon, dan Denpasar.

Para peneliti mengungkapkan pada 1990-an terdapat sekitar 50 burung per survei, kemudian menjadi sekitar 20 burung per survei pada 2000-an, dan kurang dari 10 burung per survei pada 2010-an.

Baca Juga: Plastik yang Dimakan Burung Laut Lepaskan Bahan Kimia Beracun ke Pencernaannya

Awalnya mereka berasumsi penurunan perdagangan burung tersebut berhubungan dengan redupnya tren dan kebutuhan kolektor. Namun, kolektor memilih burung kicau spesies lainnya, karena poksai mantel sudah langka di pasaran.

"Jika karena kebutuhannya menurun, (dugaan) itu tidak pas," terang Muhammad Ali Imron, Departemen Konservasi Hutan Fakultas Kehutanan UGM yang tergabung dalam penelitian ini saat dihubungi National Geographic Indonesia, Rabu (30/12). "Tapi disebabkan karena stoknya di alam liar yang mengalami penurunan,"

Imron menambahkan, bahwa ada banyak spesies burung kicau yang sudah punah di alam liar dan telah lenyap di pasar. Fenomena inilah yang menjadi konsenterasi penelitian pada poksai mantel, yang kemudian berisiko dieksploitasi sebagai pengganti yang sudah punah untuk dikoleksi.

Baca Juga: Mutasi Baru COVID-19 Muncul di Beberbagai Negara, Bagaimana Bisa?

Dari survei terhadap kota dengan penjualan tinggi poksai mantel, Medan mengalami penurunan yang sangat signifikan, dan Jakarta berkurang secara bertahap.

Mereka memperkirakan burung poksai mantel ini berasal dari alam liar yang ditangkap, bukan dari penangkaran komersil. Mengingat tidak ditemukan adanya catatan penangkaran yang diketahui untuk spesies tersebut, tulis mereka.

Poksai mantel berhabitat di hutan hujan Sumatera dan Kalimantan, tapi keberadaannya terusik semenjak maraknya pembalakan liar, penambangan, dan pertanian selama beberapa dekade terakhir.

Baca Juga: Tak Hanya Sebabkan Krisis Kesehatan dan Ekonomi, Covid-19 Turut Ancam Keberlangsungan Ekosistem Laut

Meski keberadaannya kian langka, tapi burung kicau ini tak masuk dalam daftar spesies yang dilindungi pemerintah Indonesia. Tetapi kuota perdagangannya dikontrol oleh Kemnterian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, yang awalnya dinilai efektif melarang penangkapan burung liar.

Namun, para peneliti menemukan kuota tersebut ternyata tak mampu membendung penangkapan poksai mantel. Pada 2018, kuota ditetapkan 150 untuk Jambi, tetapi di pasar mereka mereka menemukan 3 kali lebih banyak burung daripada kuota tersebut. Bahkan di tahun 2020, kuota ditingkatkan kembali menjadi 250 di Jambi, padahal terjadi penurunan populasi drastis di Sumatera.

Moksai Mantel (Sunda laughingthrush) di Gunung Kinabalu, Sabah, Malaysia. (Luis Mario Arce)

"Kalau dicrosscheck dari data di lapangan, tapi malah lebih banyak dari kuota, itu berarti ada tambahan supply di situ," papar Imron. "Ini saja baru yang terdeteksi segitu, bisa jadi lebih besar perdagangan ilegal yang memasok."

Dalam laporan, para peneliti menyarankan agar ada upaya kelayakan pengangkaran untuk eksplorasi sepesies ini, agar terlindungi dari penangkapan liar. Sebab keberadaannya dapat mempengaruhi ekosistem, baik skala nasional dan internasional.

Baca Juga: Populasi Satwa Liar di Dunia Menurun Hampir 70% dalam Waktu Kurang dari 50 Tahun

Jika absennya poksai mantel sebagai predator serangga di alam liar, Imron mengandaikan dengan fenomena kasus serupa yang terjadi di Tiongkok. Maka serangga akan bertambah populasinya, dan pakan mereka yang tak mencukupi di hutan dapat merambah ke perkebunan dan pertanian.

"Bisa sampai menyebabkan kelaparan masif, walau mungkin tidak dirasakan secara besar-besaran, tapi yang lokal-lokal di situ terdampak," papar Imron.

Baca Juga: Berkat Konservasi, 48 Spesies Burung dan Mamalia Berhasil Diselamatkan dari Kepunahan

Para peneliti juga mendesak pemerintah Indonesia untuk memberikan perlindungan penuh untuk konservasi poksai mantel, mulai dari pelarangan segala penangkapan, dan perdagangan komersil individu yang ditangkap secara liar.

"Pemerintah Indonesia sangat dianjurkan untuk mengambil tindakan tegas terhadap individu yang menangkap, menjual atau memelihara burung kicau yang bersumber secara ilegal seperti Sunda laughingthrush dan menutup pasar atau toko yang erus menjual spesies yang melanggar hukum," tulis mereka.