Berjumpa di Maghilewa: Cerita Sebuah Kampung di Pinggang Inerie

By National Geographic Indonesia, Kamis, 7 Januari 2021 | 09:00 WIB
Dengan tinggi kerucut mencapai 2245 mdpl, gunung Inerie di Kabupaten Ngada merupakan landmark alami yang menjadi rumah bagi banyak kampung tradisional seperti Bena, Tololela, Gurusina, Belaraghi dan Maghilewa. (Mikael Jefrison Leo)

Oma Isabela menunjukkan cengkeh hasil kebunnya. Kegiatan wari cengkeh biasa dilakukan warga Maghilewa selepas masa panen. Proses penjemuran ini memakan waktu tiga hari bahkan seminggu. Tergantung pada kondisi cuaca. (Mikael Jefrison Leo)

Sebuah nama pasti menyiratkan makna. Saya terusik akan rasa ingin tahu dengan asal-muasal nama kampung tradisional ini. Sambil menyesap kopi panas, saya mendengarkan dengan seksama penuturan Lukas Rengo, sesepuh adat setempat.

Menurutnya,Maghilewa berasal dari dua kata lokal, yakni Maghi yang berarti pohon lontar dan Lewa yang berarti panjang, tinggi. Toponimi ini merujuk pada satu pohon lontar yang tumbuh dan menjadi penanda di tengah kampung. “Namun saat ini pohon tersebut sudah ditebang,”tambah pria paruh baya nan murah senyum ini.

Lukas Rengo pun terus bertutur. Sambil satu-per satu warga Maghilewa datang dan duduk berkumpul memenuhi teda one (serambi tengah) daripada Sa’o Meze tempat kami berada. Sudah menjadi kebiasaan bagi warga Maghilewa untuk makan bersama ketika berlangsung sebuah pertemuan.

Kali ini, nasi jagung beserta ikan dan kuah asam menjadi menu santap siang kami. Tak lupa sebotol moke (tuak) khas Aimere yang dituang ke dalam tempurung sebagai teman makan, selain air putih.

Bapak Lukas Rengo, Tetua Adat Maghilewa ketika menjelaskan tentang makna dari weti sa’o yang terukir pada dinding Sa’o Meze. (Mikael Jefrison Leo)

Wajah Maghilewa saat ini tersusun atas deretan 26 buah rumah adat (Sa’o) yang mengelilingi halaman luas berundak-undak dan terdapat totem (Ngadu) yang menjadi penanda suku di tengahnya.

Kedua puluh enam rumah adat tersebut terdiri dari 17 buah rumah besar (Sa’o Meze) dan 9 buah rumah biasa (Sa’o Keka).

Sa’o Meze memiliki struktur bangunan yang dimulai dari Pali Wai (tempat menyimpan alas kaki), kemudian berlanjut ke tahap selanjutnya yakni Teda Moa (teras/serambi kecil), Teda One (Serambi Utama), Tolo Pena (Singgasana), One Sao (Bagian dalam rumah) dan Mata Raga (singgasana kecil dalam rumah, tempat memberikan sesajian bagi leluhur yang sudah meninggal).

Sedangkan pada Sao Keka memiliki struktur bangunan yang sama, hanya tidak memiliki Tolo Pena dan Mata Raga.

Baca Juga: Mengapa Tidak Ada yang Terkejut Bila Politisi Terlibat Skandal?

Rumah besar di Maghilewa memiliki peranan penting dalam tata kehidupan dan dinamika warga masyarakat Maghilewa. Segala bentuk musyawarah dan keputusan adat biasanya dibicarakan di Sa’o Meze.