Berjumpa di Maghilewa: Cerita Sebuah Kampung di Pinggang Inerie

By National Geographic Indonesia, Kamis, 7 Januari 2021 | 09:00 WIB
Dengan tinggi kerucut mencapai 2245 mdpl, gunung Inerie di Kabupaten Ngada merupakan landmark alami yang menjadi rumah bagi banyak kampung tradisional seperti Bena, Tololela, Gurusina, Belaraghi dan Maghilewa. (Mikael Jefrison Leo)

 

Cerita dan foto oleh Mikael Jefrison Leo

Nationalgeographic.co.id—Langit sedang kelabu. Awan-awan berarak dengan lamban. Puncak gunung Inerie siang itu tidak nampak. Persis di sebelah gardu tenaga surya yang tidak terpakai, Oma Isabela menggelar terpal untuk wari cengkeh (menjemur cengkeh).

Terhitung sudah hari ketiga beliau melakukannya. Tak jauh dari situ, persis di halaman depan Sa’o Keka, Mama Ivon tengah melakukan reu sae (menumbuk jagung). Maghilewa menyambut tidak dengan jumawa. Melainkan dengan lembut, ramah dan apa adanya.

Inerie sedari awal selalu membuat saya takjub apabila singgah ke kota Bajawa, Kabupaten Ngada. Kalau Jawa Barat punya situs Gunung Padang, maka Flores memilik Inerie. Sang Ancala cantik berketinggian 2245 mdpl menyimpan cerita-cerita unik dari peradaban manusia yang tinggal di sekitarnya. Kabupaten Ngada tersohor dengan kampung-kampung tradisionalnya. Dan rerata kampung-kampung ini berdiri anggun di kaki Inerie. Sebut saja beberapa nama di antaranya yakni Bena, Tololela, Gurusina, Belaraghi dan Maghilewa.

Perjalanan saya sebagai bagian dari Tim Perintis dalam Ekspedisi National Geographic Indonesia: Untold Flores membawa saya kepada Maghilewa, satu dari banyak kampung adat yang menambah aura kecantikan dari Inerie.

Kampung Tradisional Maghilewa yang terletak di kaki gunung Inerie ini secara administratif masuk ke dalam wilayah Desa Inerie, Kecamatan Inerie, Kabupaten Ngada. Butuh waktu 2 jam berkendara dari kota Bajawa untuk sampai ke sini. (Mikael Jefrison Leo)

Maghilewa berdiri anggun di kaki Gunung Inerie. Untuk sampai ke Maghilewa, perjalanan memakan waktu sekitar 2 jam dari Kota Bajawa. Secara administratif, Kampung Maghilewa merupakan bagian dari Desa Inerie, Kecamatan Inerie.

Berada di kaki gunung Inerie serta bertopografi sejuk, tidak menjadikan Maghilewa kaya air. Sumber air Maghilewa berasal dari kampung tetangga, yakni Kampung Watu. Sementara untuk keperluan MCK dan pakan ternak, warga Maghilewa harus menyuplai kebutuhan air dari Pantai Malaphedo.

“Dengan harga seratus ribu rupiah, tiap KK akan mendapat air sebanyak 500 liter,” ujar Benediktus Milo, Kepala Desa Inerie. Itupun hanya bertahan selama 3 hari pada pemakaian normal.

Penampang depan Sa’o Meze atau Rumah Induk di Kampung Tradisional Maghilewa. Terdapat 17 buah Sa’o Meze yang menjadi bagian dari Maghilewa. Beberapa detail seperti ukiran rumah (weti sa’o), tolo pena dan mata raga menjadi penanda Sa’o Meze yang tidak dimiliki oleh Sa’o Keka. (Mikael Jefrison Leo)

Meskipun dengan keterbatasan seperti itu, Maghilewa penuh berkah dari sektor perkebunan. Tanah di Maghilewa banyak ditumbuhi pohon kakao, kelapa, kemiri, cengkeh, pala, dan vanili.

Bulan November yang lalu Maghilewa sedang masuk masa panen cengkeh. Beberapa warga di Maghilewa, seperti Oma Isabela yang saya kisahkan di awal cerita, melakukan wari cengkeh, yakni proses pengeringan cengkeh yang memakan waktu hingga 1 minggu. Tergantung kondisi cuaca. Warga menggelar terpal di alun-alun kampung dan menyebarkan cengkeh di atasnya.

Oma Isabela menunjukkan cengkeh hasil kebunnya. Kegiatan wari cengkeh biasa dilakukan warga Maghilewa selepas masa panen. Proses penjemuran ini memakan waktu tiga hari bahkan seminggu. Tergantung pada kondisi cuaca. (Mikael Jefrison Leo)

Sebuah nama pasti menyiratkan makna. Saya terusik akan rasa ingin tahu dengan asal-muasal nama kampung tradisional ini. Sambil menyesap kopi panas, saya mendengarkan dengan seksama penuturan Lukas Rengo, sesepuh adat setempat.

Menurutnya,Maghilewa berasal dari dua kata lokal, yakni Maghi yang berarti pohon lontar dan Lewa yang berarti panjang, tinggi. Toponimi ini merujuk pada satu pohon lontar yang tumbuh dan menjadi penanda di tengah kampung. “Namun saat ini pohon tersebut sudah ditebang,”tambah pria paruh baya nan murah senyum ini.

Lukas Rengo pun terus bertutur. Sambil satu-per satu warga Maghilewa datang dan duduk berkumpul memenuhi teda one (serambi tengah) daripada Sa’o Meze tempat kami berada. Sudah menjadi kebiasaan bagi warga Maghilewa untuk makan bersama ketika berlangsung sebuah pertemuan.

Kali ini, nasi jagung beserta ikan dan kuah asam menjadi menu santap siang kami. Tak lupa sebotol moke (tuak) khas Aimere yang dituang ke dalam tempurung sebagai teman makan, selain air putih.

Bapak Lukas Rengo, Tetua Adat Maghilewa ketika menjelaskan tentang makna dari weti sa’o yang terukir pada dinding Sa’o Meze. (Mikael Jefrison Leo)

Wajah Maghilewa saat ini tersusun atas deretan 26 buah rumah adat (Sa’o) yang mengelilingi halaman luas berundak-undak dan terdapat totem (Ngadu) yang menjadi penanda suku di tengahnya.

Kedua puluh enam rumah adat tersebut terdiri dari 17 buah rumah besar (Sa’o Meze) dan 9 buah rumah biasa (Sa’o Keka).

Sa’o Meze memiliki struktur bangunan yang dimulai dari Pali Wai (tempat menyimpan alas kaki), kemudian berlanjut ke tahap selanjutnya yakni Teda Moa (teras/serambi kecil), Teda One (Serambi Utama), Tolo Pena (Singgasana), One Sao (Bagian dalam rumah) dan Mata Raga (singgasana kecil dalam rumah, tempat memberikan sesajian bagi leluhur yang sudah meninggal).

Sedangkan pada Sao Keka memiliki struktur bangunan yang sama, hanya tidak memiliki Tolo Pena dan Mata Raga.

Baca Juga: Mengapa Tidak Ada yang Terkejut Bila Politisi Terlibat Skandal?

Rumah besar di Maghilewa memiliki peranan penting dalam tata kehidupan dan dinamika warga masyarakat Maghilewa. Segala bentuk musyawarah dan keputusan adat biasanya dibicarakan di Sa’o Meze.

Bagian rumah yakni Teda One menjadi ajang warga untuk bertukar pikiran, mencari kata mufakat dan menggelar kegiatan adat. Pada Teda One terdapat Tolo Pena yang berada persis di depan ambang pintu masuk menuju One Sa’o.

Singgasana sederhana berukir ini unik, karena hanya boleh ditempati oleh kepala keluarga yang dituakan pada Sa’o Meze. Jadi, bisa dipastikan tidak boleh sembarang orang yang berhak duduk di sana.

Apalagi ketika digelar sebuah musyawarah adat atau pembicaraan yang serius. Bahkan dalam ihwal duduk berkumpul dalam suasana santai sekalipun, keberadaan Tolo Pena ini tetap dihargai sebagai simbol kehormatan bagi pemilik rumah tersebut.

Penampang depan Sa’o Keka (rumah biasa, rumah kecil) khas Maghilewa. Jumlah Sa’o Keka adalah sebanyak 9 buah rumah dengan arsitektur yang lebih sederhana dari Sa’o Meze. (Mikael Jefrison Leo)

Satu hal lagi yang menarik perhatian saya adalah keberadaan ukiran pada dinding utama Sa’o Meze. Letaknya persis di samping pintu utama rumah. Menurut Lukas, ukiran ini bukanlah sekedar ukiran dekoratif semata. Ada makna yang terkandung di dalamnya.

Ukiran ini dalam bahasa lokal setempat dinamakan Weti Sa’o. Dan ini menjadi ciri khas dari Sa’o Meze. Karena Sa’o Keka praktis tidak memiliki detail demikian.

Pada Weti Sa’o biasanya terukir manulalu (ayam jantan), bela (anting-anting), zegu kaba (tanduk kerbau) dan djara (kuda). Ayam, Kerbau dan Kuda memiliki arti penting bagi kehidupan warga Maghilewa.

Baca Juga: Reis, Adab Orang-orang Manggarai Barat dalam Menyambut Tetamu

Ayam adalah satwa yang acapkali dipakai sebagai hewan kurban pada setiap ritual adat dan sebagai media untuk berkomunikasi dengan leluhur. Sementara Kerbau juga bermakna demikian. Hanya saja, pemakaian Kerbau sebagai hewan kurban digunakan pada saat-saat tertentu saja seperti Ngeku (kenduri untuk kerabat yang meninggal), Ka Ngadu (pembangunan/perbaikan Ngadu), Ka Sa’o (pembangunan rumah adat Sa’o Meze).

Sementara kuda menggambarkan sarana transportasi yang selalu menjadi andalan warga ketika beraktivitas, baik itu berkebun maupun berladang. Ukiran anting (bela) melambangkan orang yang tinggal di rumah tersebut. Ini menjadi representasi warga yang kental menganut paham matriarkat.

Posisi tiap ukiran pun sangat unik. Ayam, anting dan tanduk kerbau diukir pada dinding utama yang posisinya sejajar dengan ambang pintu. Sedangkan ukiran kuda terdapat pada dinding sebelah bawahnya.

Detail weti sa’o (ukiran rumah) yang menggambarkan manulalu (ayam jantan), bela (anting-anting) dan zegu kaba (tanduk kerbau). Ukiran seperti ini hanya ditemukan hanya pada Sa’o Meze. (Mikael Jefrison Leo)

Banyak sekali yang ingin saya jelajahi lewat tuturan bapak Lukas. Hanya waktu sebentar lagi menuju malam. Langit masih tetap kelabu sama seperti waktu saya datang. Inerie pun masih terselubung awan.

Saya pamit untuk meneruskan perjalanan selanjutnya. Bagaimanapun juga, seperti yang diungkapkan oleh Ibnu Batutta, penjelajah asal Maroko bahwa “perjalanan akan membuatmu tidak dapat berkata-kata, lalu mengubahmu menjadi pencerita.”

Kisah perjumpaan saya kali pertama dengan Maghilewa ini akan menjadi manis ketika bisa dibagikan kepada keluarga dan kerabat terdekat kita.

Baca Juga: Jelajah Samudra Kapal Portlink Zero dari Irlandia Utara ke Indonesia

UNTOLD FLORES merupakan perjalanan untuk menyingkap sejarah, budaya, alam, dan cerita manusia di Flores, Nusa Tenggara Timur. Tujuannya, membangkitkan gairah perjalanan wisata berbasiskan narasi tentang sebuah tempat, sekaligus membangun kesadaran warga dan pejalan tentang pentingnya memuliakan nilai-nilai kampung halaman. Perjalanan ini merupakan bagian penugasan National Geographic Indonesia, yang didukung oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia.