Berjumpa di Maghilewa: Cerita Sebuah Kampung di Pinggang Inerie

By National Geographic Indonesia, Kamis, 7 Januari 2021 | 09:00 WIB
Dengan tinggi kerucut mencapai 2245 mdpl, gunung Inerie di Kabupaten Ngada merupakan landmark alami yang menjadi rumah bagi banyak kampung tradisional seperti Bena, Tololela, Gurusina, Belaraghi dan Maghilewa. (Mikael Jefrison Leo)

Bagian rumah yakni Teda One menjadi ajang warga untuk bertukar pikiran, mencari kata mufakat dan menggelar kegiatan adat. Pada Teda One terdapat Tolo Pena yang berada persis di depan ambang pintu masuk menuju One Sa’o.

Singgasana sederhana berukir ini unik, karena hanya boleh ditempati oleh kepala keluarga yang dituakan pada Sa’o Meze. Jadi, bisa dipastikan tidak boleh sembarang orang yang berhak duduk di sana.

Apalagi ketika digelar sebuah musyawarah adat atau pembicaraan yang serius. Bahkan dalam ihwal duduk berkumpul dalam suasana santai sekalipun, keberadaan Tolo Pena ini tetap dihargai sebagai simbol kehormatan bagi pemilik rumah tersebut.

Penampang depan Sa’o Keka (rumah biasa, rumah kecil) khas Maghilewa. Jumlah Sa’o Keka adalah sebanyak 9 buah rumah dengan arsitektur yang lebih sederhana dari Sa’o Meze. (Mikael Jefrison Leo)

Satu hal lagi yang menarik perhatian saya adalah keberadaan ukiran pada dinding utama Sa’o Meze. Letaknya persis di samping pintu utama rumah. Menurut Lukas, ukiran ini bukanlah sekedar ukiran dekoratif semata. Ada makna yang terkandung di dalamnya.

Ukiran ini dalam bahasa lokal setempat dinamakan Weti Sa’o. Dan ini menjadi ciri khas dari Sa’o Meze. Karena Sa’o Keka praktis tidak memiliki detail demikian.

Pada Weti Sa’o biasanya terukir manulalu (ayam jantan), bela (anting-anting), zegu kaba (tanduk kerbau) dan djara (kuda). Ayam, Kerbau dan Kuda memiliki arti penting bagi kehidupan warga Maghilewa.

Baca Juga: Reis, Adab Orang-orang Manggarai Barat dalam Menyambut Tetamu

Ayam adalah satwa yang acapkali dipakai sebagai hewan kurban pada setiap ritual adat dan sebagai media untuk berkomunikasi dengan leluhur. Sementara Kerbau juga bermakna demikian. Hanya saja, pemakaian Kerbau sebagai hewan kurban digunakan pada saat-saat tertentu saja seperti Ngeku (kenduri untuk kerabat yang meninggal), Ka Ngadu (pembangunan/perbaikan Ngadu), Ka Sa’o (pembangunan rumah adat Sa’o Meze).

Sementara kuda menggambarkan sarana transportasi yang selalu menjadi andalan warga ketika beraktivitas, baik itu berkebun maupun berladang. Ukiran anting (bela) melambangkan orang yang tinggal di rumah tersebut. Ini menjadi representasi warga yang kental menganut paham matriarkat.

Posisi tiap ukiran pun sangat unik. Ayam, anting dan tanduk kerbau diukir pada dinding utama yang posisinya sejajar dengan ambang pintu. Sedangkan ukiran kuda terdapat pada dinding sebelah bawahnya.

Detail weti sa’o (ukiran rumah) yang menggambarkan manulalu (ayam jantan), bela (anting-anting) dan zegu kaba (tanduk kerbau). Ukiran seperti ini hanya ditemukan hanya pada Sa’o Meze. (Mikael Jefrison Leo)

Banyak sekali yang ingin saya jelajahi lewat tuturan bapak Lukas. Hanya waktu sebentar lagi menuju malam. Langit masih tetap kelabu sama seperti waktu saya datang. Inerie pun masih terselubung awan.

Saya pamit untuk meneruskan perjalanan selanjutnya. Bagaimanapun juga, seperti yang diungkapkan oleh Ibnu Batutta, penjelajah asal Maroko bahwa “perjalanan akan membuatmu tidak dapat berkata-kata, lalu mengubahmu menjadi pencerita.”

Kisah perjumpaan saya kali pertama dengan Maghilewa ini akan menjadi manis ketika bisa dibagikan kepada keluarga dan kerabat terdekat kita.

Baca Juga: Jelajah Samudra Kapal Portlink Zero dari Irlandia Utara ke Indonesia

UNTOLD FLORES merupakan perjalanan untuk menyingkap sejarah, budaya, alam, dan cerita manusia di Flores, Nusa Tenggara Timur. Tujuannya, membangkitkan gairah perjalanan wisata berbasiskan narasi tentang sebuah tempat, sekaligus membangun kesadaran warga dan pejalan tentang pentingnya memuliakan nilai-nilai kampung halaman. Perjalanan ini merupakan bagian penugasan National Geographic Indonesia, yang didukung oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia.