Pata Dela: Pedoman dalam Hidup Bersama dari Para Leluhur di Bajawa

By National Geographic Indonesia, Kamis, 7 Januari 2021 | 14:52 WIB
Plakat Bertuliskan (Reinard L. Meo)

Pata Déla ini korelatif dengan apa yang familiar kita gunakan, berat sama dipikul, ringan sama dijinjing. Pata Déla ini hendak menegaskan bahwa dalam hidup ini, kita mesti peka, mesti murah hati membantu, mesti sadar diri pula untuk berbagi beban.

Baca Juga: Di Bawah Duli Senhor Sikka

Di wilayah Bajawa, para petani kopi bergotong royong menjemur biji kopi hasil panen kebun masyarakat. (Bayu D.M. Kusuma/National Geographic Traveler)

Mengapa leluhur (Ébu Nusi) Orang Bajawa mampu menghasilkan mahakarya bernama Pata Déla? Agaknya, konsep Situasi Batas dapat dipakai untuk bantu menerangkannya.

Pada tahun 1932, Karl Jaspers – eksistensialis (pemikir yang menaruh perhatian penuh pada salah satu aliran filsafat yakni Eksistensialisme) asal Jerman – menyebut kematian, penderitaan, perjuangan, dan kesalahan merupakan kenyataan-kenyataan yang inheren atau melekat atau bertindih tepat pada setiap manusia.

Empat kenyataan ini Jaspers sebut sebagai Situasi Batas. Kita dapat menduga, persis pada Situasi Batas inilah, Ébu Nusi Orang Bajawa didorong untuk melahirkan sé boge kita riu roe, sé képo kita nari nédo dan su’u papa suru, sa’a papa laka.

Dua Pata Déla ini, yang lahir, diucapkan, dan diwariskan terus dalam Situasi Batas manusia, menyadarkan Orang Bajawa sebagai pemilik dan pengguna untuk kembali pada diri sendiri yang pada dasarnya adalah “kosong”.

Secara sosiologis, sé boge kita riu roe, sé képo kita nari nédo dan su’u papa suru, sa’a papa laka menyuarakan setegas-tegasnya hakikat manusia sebagai makhluk sosial. Orang lain adalah socius (teman) yang dengan dan kepadanya kita mesti berbagi, saling membantu, saling meringankan beban. 

Situasi Batas membuat kita sadar bahwa kita tidak bisa hidup seorang diri saja. Ata go’o (Orang Lain) adalah subjek-subjek di luar diri kita yang karena keberadaan mereka maka kita menjadi kita diri yang sesungguhnya.

Dengan tinggi kerucut mencapai 2245 mdpl, gunung Inerie di Kabupaten Ngada merupakan landmark alami yang menjadi rumah bagi banyak kampung tradisional seperti Bena, Tololela, Gurusina, Belaraghi dan Maghilewa. (Mikael Jefrison Leo)

Kenyataan sosial dengan segala dinamikanya mendapat penegasan dan pemenuhan lewat ada bersama ata go’o. Bersama dan kepada ata go’o inilah, sé boge kita riu roe, sé képo kita nari nédo dan su’u papa suru, sa’a papa laka dapat terejawantah dengan sebaik-baiknya.

Sé boge kita riu roe, sé képo kita nari nédo dan su’u papa suru, sa’a papa laka dapat pula dimaknai sebagai perlawanan. Terhadap apa? Terhadap egoisme dan individualisme yang makin hari makin menjadi ciri khas masyarakat post-modern, ciri khas Orang Bajawa juga.

Sé boge kita riu roe, sé képo kita nari nédo dan su’u papa suru, sa’a papa laka adalah nama lain dari altruisme. Kita menjadi diri kita bukan saja karena adanya orang lain, tetapi lebih karena apa yang kita lakukan bersama dan kepada orang lain.

Lebih dari sekadar ada, diwariskan, dan diucapkan, Pata Déla merupakan pedoman, kaidah, penuntun, dan pengontrol bagi derap langkah hidup Orang Bajawa.

Dalam situasi-situasi bebas, Pata Déla tidak hanya menjadi semacam awasan, ancaman, ajakan, atau larangan, tetapi juga menjadi hiburan, dan retorika atau permainan bahasa.