Pata Dela: Pedoman dalam Hidup Bersama dari Para Leluhur di Bajawa

By National Geographic Indonesia, Kamis, 7 Januari 2021 | 14:52 WIB
Plakat Bertuliskan (Reinard L. Meo)

Cerita dan foto oleh Reinard L. Meo

Nationalgeographic.co.id—Dalam Bahasa Bajawa, Pata berarti pepatah sementara Déla artinya tetua, orang tua, leluhur. Sehingga Pata Déla dapat diartikan sebagai bukan saja “wejangan orang tua” tetapi juga “pepatah leluhur”. Ia pun masuk dalam kategori syair atau puisi adat yang diwariskan dan diucapkan dalam keseharian hidup Orang Bajawa.

Ada begitu banyak Pata Déla. Umumnya, pengungkapan Pata Déla sangat tergantung pada momen atau konteks, atau siapa yang mengungkapkan dan kepada siapa Pata Déla itu ditujukan.

Pewarisan Pata Déla selalu disesuaikan dengan situasi dan kondisi. Lazimnya, Pata Déla dituturkan oleh tetua adat (mosa laki) atau orang-orang tua, baik kepada anggota keluarga maupun kepada yang lebih muda.

Pata Déla juga bisa dituturkan oleh orang lain dalam situasi yang lain. Misalnya oleh guru kepada murid di ruang kelas, oleh orang tua kepada anak yang akan melanjutkan studi, atau oleh sesama kepada sesama.

Ada Pata Déla yang dapat dengan mudah ditangkap maknanya dan ada pula yang butuh penjelasan lebih mendalam sebelum sampai pada pesannya.

Dalam artikel ini kita hanya akan fokus pada dua Pata Déla.

Baca Juga: Manu, Ngana, dan Kaba: Cerita Hewan-Hewan Kurban Orang Bajawa

Deretan rumah tradisional tertata rapi mengikuti kode budaya dari leluhur. Pemandangan seperti ini dapat kita saksikan di Kampung Adat Bena, Desa Tiworiwu, Ngada. (Bayu D.M. Kusuma/National Geographic Traveler)

Pertama; sé boge kita riu roe, sé képo kita nari nédo. Arti harfiahnya, satu potong kita nikmati enaknya, satu genggam kita cicipi sedapnya. Satu () potong (boge) dan satu () genggam (képo) merujuk tepat pada makanan dan bahasa tubuh. Riu roe (nikmati bersama enaknya) dan nari nédo (cicipi bersama sedapnya) menegaskan betapa apa yang kita miliki, hendaknya tidak hanya membahagiakan diri kita sendiri. Berbagi adalah kata kunci yang meringkas Pata Déla ini.

Kedua; su’u papa suru, sa’a papa laka. Arti harfiahnya, saling membantu dalam memikul, saling bergantian dalam memanggul.

Pikul (su’u) dan panggul (sa’a) merupakan kata kerja yang terjelma dalam aksi. Papa suru dan papa laka yakni saling membantu dan saling bergantian, dimaksudkan sebagai penegas bagi su’u dan sa’a.

Pata Déla ini korelatif dengan apa yang familiar kita gunakan, berat sama dipikul, ringan sama dijinjing. Pata Déla ini hendak menegaskan bahwa dalam hidup ini, kita mesti peka, mesti murah hati membantu, mesti sadar diri pula untuk berbagi beban.

Baca Juga: Di Bawah Duli Senhor Sikka

Di wilayah Bajawa, para petani kopi bergotong royong menjemur biji kopi hasil panen kebun masyarakat. (Bayu D.M. Kusuma/National Geographic Traveler)

Mengapa leluhur (Ébu Nusi) Orang Bajawa mampu menghasilkan mahakarya bernama Pata Déla? Agaknya, konsep Situasi Batas dapat dipakai untuk bantu menerangkannya.

Pada tahun 1932, Karl Jaspers – eksistensialis (pemikir yang menaruh perhatian penuh pada salah satu aliran filsafat yakni Eksistensialisme) asal Jerman – menyebut kematian, penderitaan, perjuangan, dan kesalahan merupakan kenyataan-kenyataan yang inheren atau melekat atau bertindih tepat pada setiap manusia.

Empat kenyataan ini Jaspers sebut sebagai Situasi Batas. Kita dapat menduga, persis pada Situasi Batas inilah, Ébu Nusi Orang Bajawa didorong untuk melahirkan sé boge kita riu roe, sé képo kita nari nédo dan su’u papa suru, sa’a papa laka.

Dua Pata Déla ini, yang lahir, diucapkan, dan diwariskan terus dalam Situasi Batas manusia, menyadarkan Orang Bajawa sebagai pemilik dan pengguna untuk kembali pada diri sendiri yang pada dasarnya adalah “kosong”.

Secara sosiologis, sé boge kita riu roe, sé képo kita nari nédo dan su’u papa suru, sa’a papa laka menyuarakan setegas-tegasnya hakikat manusia sebagai makhluk sosial. Orang lain adalah socius (teman) yang dengan dan kepadanya kita mesti berbagi, saling membantu, saling meringankan beban. 

Situasi Batas membuat kita sadar bahwa kita tidak bisa hidup seorang diri saja. Ata go’o (Orang Lain) adalah subjek-subjek di luar diri kita yang karena keberadaan mereka maka kita menjadi kita diri yang sesungguhnya.

Dengan tinggi kerucut mencapai 2245 mdpl, gunung Inerie di Kabupaten Ngada merupakan landmark alami yang menjadi rumah bagi banyak kampung tradisional seperti Bena, Tololela, Gurusina, Belaraghi dan Maghilewa. (Mikael Jefrison Leo)

Kenyataan sosial dengan segala dinamikanya mendapat penegasan dan pemenuhan lewat ada bersama ata go’o. Bersama dan kepada ata go’o inilah, sé boge kita riu roe, sé képo kita nari nédo dan su’u papa suru, sa’a papa laka dapat terejawantah dengan sebaik-baiknya.

Sé boge kita riu roe, sé képo kita nari nédo dan su’u papa suru, sa’a papa laka dapat pula dimaknai sebagai perlawanan. Terhadap apa? Terhadap egoisme dan individualisme yang makin hari makin menjadi ciri khas masyarakat post-modern, ciri khas Orang Bajawa juga.

Sé boge kita riu roe, sé képo kita nari nédo dan su’u papa suru, sa’a papa laka adalah nama lain dari altruisme. Kita menjadi diri kita bukan saja karena adanya orang lain, tetapi lebih karena apa yang kita lakukan bersama dan kepada orang lain.

Lebih dari sekadar ada, diwariskan, dan diucapkan, Pata Déla merupakan pedoman, kaidah, penuntun, dan pengontrol bagi derap langkah hidup Orang Bajawa.

Dalam situasi-situasi bebas, Pata Déla tidak hanya menjadi semacam awasan, ancaman, ajakan, atau larangan, tetapi juga menjadi hiburan, dan retorika atau permainan bahasa.