Nationalgeographic.co.id – Sebuah makam kuno berisi kerangka anak-anak yang diperkirakan berusia 8.000 tahun digali oleh para arkeolog pada awal 2016 lalu di Gua Makpan, Pulau Alor, Nusa Tenggara Timur. Fosil tersebut ditemukan dari dua penggalian berukuran 2 x 2 dan 1 x 1 meter di sekitar mulut gua.
Melalui laporan arkeolog dari Australian National University dan Universitas Gadjah Mada yang dipublikasikan pada 2020 di Science Direct, penemuan ini menjadi penambah mata rantai petunjuk mengenai peradaban pra sejarah di Indonesia.
Baca Juga: Berkat Arus Panas Pasifik, Manusia Purba Mulai Bermukim di Amerika
Dalam analisa metode arkeotanatologi, tak ditemukan adanya cidera yang mengakibatkan tewasnya anak tersebut di masa lalu. Meskipun pada sambungan kaki kiri dan tulang lehernya belum mengalami pembusukkan di saat bagian lainnya mulai meluruh. Mereka menduga bahwa bagian tersebut dibungkus dengan sesuatu berbahan organik yang tidak terawetkan.
Para peneliti melihat terdapat bagian dari kerangka tersebut yang sedikit berantakan. Tulang-tulang penyusunnya berada di posisi yang tak semestinya dalam struktur anatomi.
Baca Juga: Narasi Flores Tidak Berhenti pada Cerita Orang Tua dan Bajo Saja
“Khususnya tulang belikat dan klavikula [selangka] kiri, tulang tangan, epifisis proksimal humeri dan beberapa unsur panggul tri-partit, dengan ilium [tulang panggul] kanan terletak di atas iskium [tulang untuk duduk] kiri,” tulis mereka dalam publikasinya.
Kerangka tersebut pada saat ditemukan dalam kondisi kehilangan tulang lengan dan kaki. Mereka menduga, sebelum dimakamkan bagian tersebut dibuang ke tempat lain. Ketiadaannya saat ditemukan adalah hal yang lazim ditemukan dalam penggalian arkeologi peninggalan holosen di Nusantara.
“Tapi ini pertama kalinya kami melihatnya dalam penguburan anak,” terang Samper Carro, salah satu peneliti dari School of Archaeology and Anthropology, Australian National University.
Praktik pemakaman serupa pertama kali muncul di bagian utara Kalimantan berusia sekitar 10.000 tahun yang lalu, dan tersebar perlahan pada kepulauan Nusantara lainnya.
Para peneliti beranggapan praktik budaya itu tersebar akibat interaksi maritim, dan laju migrasi manusia ke penjuru kepulauan Asia Tenggara pada masa itu. Terlebih, pada masa holosen tersebut alat transportasi laut di kepulauan Nusantara sudah lebih baik.