Berdebar-debar, Jelajahi Angkasa Bogor Bersama Sibar Bermotor

By Mahandis Yoanata Thamrin, Senin, 27 Februari 2023 | 10:00 WIB
Terbang di atas hamparan awan yang mirip bentangan kapas. Trike merupakan pesawat microlight, gantole bermesin. (Bambang R Darya Atmaka)

Tampak kejauhan bangunan putih ditengah rerimbunan hijaunya pohon, “Itu Istana Bogor!”, seru Edgar sambil menunjuk arah kiri kami. “Tapi itu restricted area ya, kita ngga boleh terbang di atasnya”, tegasnya.

Memang ada beberapa wilayah larangan terbang permanen yang harus dipatuhi, seperti instalasi militer, istana atau kediaman Presiden.  Sesaat kemudian kami terbang melintas tol Jagorawi yang pagi itu tampak lengang, biasalah Minggu pagi.

Titik balik kami adalah sebuah lapangan baseball di Sentul City. Kami melakukan manuver sambil mengitari sebuah lapangan baseball dua kali. Pada manuver kedua, ketinggian lebih rendah, sehingga kami bisa melambaikan tangan kepada wajah-wajah keheranan para pemain baseball.

Memasuki kawasan ini pilot harus hati-hati untuk mengukur manuver ketinggian lantaran banyaknya menara tegangan tinggi dengan kabel-kabel yang siap memerangkap kami.

“Lihat sepertinya daerah sana sudah hujan,” ujar Edgar dari radionya. Lalu dia menyarankan untuk segera kembali ke Lido seraya berkata, “Saya ‘kan bisa berbicara dengan awan.”

Edgar Ekaputra bersama Mahandis Yoanata bersiap lepas landas dari Lido Airfield. (Solowings Flight Club)

Saya meyakininya lantaran awan hitam memang mulai bergulung seolah hendak mengejar kami. Badai bisa dengan mudah mengempaskan dan mengoyak sayap sibar ini.

Sebenarnya alam selalu memberikan sinyal yang menentukan apakah kita tetap terbang atau harus mendarat. Pembentukan dari awan sampai hujan, bahkan badai, selalu melewati suatu proses yang bisa diamati, tidak terjadi begitu saja. Setiap penerbang mutlak mengetahui jenis-jenis awan dari yang berkategori ringan sampai berat, dari cirrus sampai comulo-nimbus.

Dari radio terdengar informasi Lanud Militer Atang Senjaya bahwa akan ada pesawat Cessna 172 Skyhawk berkabin 4 orang melintas dari arah Lido menuju ke arah kami. Kami pun membalas dengan menginformasikan bahwa ketinggan gantole bermesin ini di bawah 2.000 kaki. Sekali lagi, inilah  pentingnya komunikasi dengan ATC.

Kode “17” di ujung airstrip Lido mulai terlihat. Kami pun bersiap landing dari arah Utara landasan setelah mendapat izin dari ATC.  Petualangan belum berakhir. Semua penerbang setuju bahwa mengangkasa jauh lebih mudah ketimbang mendarat. 

Baca Juga: Mengapa Jendela Pesawat Selalu Bulat? Ada Alasan Ilmiah di Baliknya

Baca Juga: Pengorbanan Ibnu Firnas Menjadi Manusia Terbang Pertama di Dunia