Rijsttafel: Gaya Hidup yang Menjadi Nilai Jual Pariwisata Kolonial

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Selasa, 26 Januari 2021 | 08:45 WIB
Rijsttafel yang digelar di Hotel der Nederlanden, Batavia pada 1931. (KITLV)

Baca Juga: Mengapa Negara Diklasifikasi Sebagai Dunia Pertama, Kedua, dan Ketiga?

Rijsttafel di asisten wedono Trawas, Mojokerto. Tampak diujung meja F. van Mourik, 1921. (KITLV)

Kari India bercita rasa pedas dan beraroma tajam. Demi menguatkan identitas hidangan Nusantara, bahannya diubah menjadi lebih beraroma dan menggunakan lombok yang sedikit.

"Yang sangat dominan adalah penggunaan bahan tumbukan bubuk kemiri dan santan," tulis Rahman. "Sayuran kari Jawa umumnya berbahan misoa, bawang putih, bawang merah, jahe, kemiri, kunyit, gula, ketumbar, jintan, serai, salam daun jeruk, dan santan kelapa."

Seiring meredupnya kebudayaan Indis akibat invasi Jepang pada 1942, kebiasaan rijsttafel juga meluruh. Hotel-hotel yang biasa menyediakan rijsttafel perlahan berhenti beroperasi, bahkan dijadikan markas tentara Jepang seperti Hotel Des Indies.

Sikap anti Barat yang dikampanyekan Jepang membuat tatanan budaya terbalik 180 derajat. Bahkan perempuan Eropa pun didagangkan untuk menjadi pelayan bagi orang Jepang dan pribumi.

Orang Eropa berangsur pulang ke benuanya, menyisakan kerinduan pada eksotisme Nusantara yang telah direbut. Kerinduan mereka pada sajian rasa Nusantara itu kemudian disenandungkan oleh Wieteke van Dort dalam lagunya Geef Mij Maar Nasi Goreng (Berikan Aku Nasi Goreng). 

Sebagai gantinya, mereka yang pergi ke Eropa mulai mendirikan tempat makan bernuansa Indonesia. Meskipun cita rasa dan harga tak sebanding dengan masa-masa mereka di Bumi Khatulistiwa.