Rijsttafel: Gaya Hidup yang Menjadi Nilai Jual Pariwisata Kolonial

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Selasa, 26 Januari 2021 | 08:45 WIB
Rijsttafel yang digelar di Hotel der Nederlanden, Batavia pada 1931. (KITLV)

Agar terlihat mewah dalam pandangan Eropa, orang Belanda menambahkan peranti bergaya Barat seperti sendok dan garpu. Penggunaan ini lumrah bagi orang Belanda demi status mereka, apalagi jika berbahan perak.

Rahman berpendapat, penggunaan ragam peranti ini sejatinya merepotkan untuk orang kita. Kita terbiasa makan dengan tangan telanjang, dan menganggap peranti seperti pisau mentega tidaklah penting. Tetapi elit pribumi lambat laun juga mengadopsi penggunaan peranti ini dengan tujuan mengakrabkan diri dengan Eropa.

Tata sajian ini, menurut Sartono Kartodirdjo, membuat sekat Barat-pribumi tak lagi seketat masa sebelumnya. Tetapi Onghokham menilainya sebagai gejala pembaratan, terlebih Barat pada awal abad ke-20 yang menjadi obsesi pribumi.

Baca Juga: Flu Spanyol, Lambannya Pemerintah Hindia Belanda Menangani Pagebluk

Hidangan eksotis rijsttafel selaras dengan bentang alam Nusantara yang kemudian menjadi ciri pariwisata berkonsep Mooi Indië (Hindia Jelita). Sajian ini dijajakan di berbagai hotel yang bermunculan sejak era 1920-an, seperti Hotel des Indes di Batavia, dan Hotel Savoy Homann di Bandung.

Hidangan tradisional dan Eropa disajikan dengan gaya Belanda. Setiap makan pun di tempatkan pada piring tersendiri seperti acar, sambal, dan kerupuk bersamaan dengan bir. Santapan lokal yang umumnya nasi disajikan sebagai makanan siang, sedangkan menu Eropa disajikan saat sarapan dan makan malam.

Pelayan hotel saat itu diisi oleh orang Bumiputra yang disebut "jongos". Mereka biasanya bekas pekerja perkebunan yang dibeli murah, lalu diberi pelatihan agar terlihat mewah dan rapih.

Suasana dapur restoran atau hotel yang menyajikan hidangan Rijsttafel, sebagaimana yang dideskripsikan W.A van Rees. (J.C. Rappard/Tropenmuseum)

Penulis era kolonial, W.A van Rees, menggambarkan alat dapur tradisional dan Eropa di restoran dan hotel yang menyediakan rijsttafel digambarkan berdampingan. Rahman berpendapat, ini menggambarkan orang Eropa dan pribumi saling mengenal, serta menyesuaikan diri pada bahan maupun alat masaknya.

Obsesi orang Belanda pada hidangan rijsttafel kemudian membuat makanan lokal makin dominan. Meski kurang terbiasa bagi bangsa Eropa, mereka juga menambahkan bumbu-bumbu lokal pada makanan mereka.

Mereka juga tergila-gila dengan pisang goreng sebagaimana yang tergambar jelas dalam film Oeroeg (1993), yang diadaptasi dari novel berjudul The Black Lake tahun 1948. Kegemaran orang Belanda pada pisang goreng ini, menurut Rahman, sempat membuat Paku Buwono X terheran-heran.

Rijsttafel tak melulu percampuran antara Eropa dan lokal. Makanan dan gaya Tionghoa juga turut bercampur semenjak saat tempat makan mereka marak bermunculan. Sedangkan khas Timur Tengah dan India seperti gulai atau kari turut bercampur dengan perubahan bahan.