Nationalgeographic.co.id—Ketika Perang Dunia I berkecamuk, dunia juga digemparkan dengan merebaknya flu Spanyol atau juga disebut dengan pagebluk influenza. Pagebluk ini memberi dampak langsung pada tiga miliar penduduk dunia, baik yang terjangkit, meninggal dunia, maupun dampak sosial dan ekonomi.
Meskipun disebut sebagai flu spanyol, menurut David Killingray dalam A New 'Imperial Disease': The Influenza Pandemy of 1918-1919 and its impact on British Empire, bukanlah berasal dari negeri matador itu. Asalnya justru dari negara-negara yang turut berperang seperti Amerika Serikat, dan Inggris.
Karena posisi Spanyol yang netral saat Perang Dunia I, tidak transparannya data penyakit oleh negara yang berperang (karena mereka khawatir akan menurunkan moral pasukan), dan transparannya pers Spanyol dalam memberitakan pagebluk, penamaannya dirujuk padanya.
Kehadiran flu Spanyol di Hindia Belanda menurut Priyanto Wibowo dan timnya dalam Yang Terlupakan: Pandemi Influenza 1918 di Hindia Belanda, tidak begitu diketahui oleh pemerintah. Sebab fokus pemerintah masihlah pada konflik perang yang berkecamuk di Eropa.
Namun berdasarkan keterangan kedokteran Hindia Belanda, diduga berasal dari Tiongkok yang saat itu merupakan negara Asia pertama yang terjangkit akibat kedudukan Inggris di sejumlah kawasannya.
Kehadiaran yang merebak di Tiongkok membuat konsul Belanda di Singapura pada April 1918 memperingatkan pemerintah Hindia untuk mencegah kapal dari Hong Kong bersandar di Batavia.
Sialnya, peringatan itu tak diperhatikan oleh pemerintah di Batavia. Sehingga pada Juli 1918, muncullah beberapa pasien influenza di sejumlah rumah sakit. Jumlah kasus mulai melonjak pada Agustus dan September, meskipun pada saat itu rasionya masih kecil dibandingkan wabah lokal seperti cacar.
Baca Juga: Langkah Panjang Vaksinasi Demi Hadapi Pagebluk di Hindia Belanda
Kenaikan jumlah kasus influenza kian parah. November 1918, kepala daerah Banjarmasin, dan asisten residen Buleleng, Bali mengirimkan laporan jumlah pasien yang meningkat, kemudian diikuti oleh residen Banyuwangi pada 2 Desember 1918.
Surabaya pun menjadi zona merah selama pagebluk berlangsung karena perannya sebagai kota pelabuhan utama. Tercatat sekitar 1,5 juta orang meninggal dunia pada masa puncak pagebluk.
Sejak Oktober 1918 korban mulai berjatuhan, lembaga Nederlandsch Zendinggenootschap (Perhimpunan Misionaris Belanda) telah mengambil langkah pencegahan semampunya. Meski pemerintah belum kunjung bersikap, lembaga itu menjadikan pos-pos misionarisnya sebagai tempat perawatan tambahan, dan menyiarkan informasi tekait virus.
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR