Nationalgeographic.co.id—Salah satu kebudayaan Indis yang mencampurkan unsur Eropa dan lokal terletak pada kulinernya, Rijsttafel. Selera kuliner ini tak muncul begitu saja, kebiasaan ini hadir akibat absennya perempuan Eropa di negeri koloni.
Absennya perempuan Eropa, terutama era 1870-an membuat para lelaki lebih dikenal dengan budaya membujangnya. Sehingga harus mengawini perempuan lokal yang menyeret mereka kepada kebudayaan Bumiputra, meski secara klaim bersikukuh tak mengadopsinya.
Tak dapat dimungkiri, rempah di mata bangsa Eropa sangat eksotis. Membuat kebiasaan menyantap hidangan lokal lambat laun menjadi lumrah. Orang-orang Belanda pun mulai menambahkan unsur Barat pada santapan lokal demi mempertahankan identitasnya di Hindia.
Baca Juga: Budaya Indis, Pupusnya Jejak Akulturasi Budaya Eropa dan Nusantara
Datangnya perempuan Eropa di akhir abad ke-19, justru makin membuat unsur benua biru mencuat dan melebur dalam rijsttafel. Fadly Rahman dalam Rijsttafel: Budaya Kliner di Indonesia masa Kolonial, menyebut kehadiran mereka membawa bahan makanan itu ke Hindia. Kehadiran mereka bersama bahan-bahan itu disebabkan karena transportasi juga lebih cepat, terutama pasca dibukanya Terusan Suez.
Sebagai pedoman sebelum berkunjung ke Hindia, ada pula buku Gids voor Reizigers yang menjadi sumber informasi. Buku yang beredar sejak 1878 itu juga memberi arahan mengenai pangan di Hindia. Istilah rijsttafel telah diperkenalkan dan menjadi poluer di kalangan Eropa sebagai hidangan status sosial tinggi.
Penyajian rijsttafel yang mewah dengan santapan Nusantara , menurut Onghokham dalam Runtuhnya Hindia Belanda, sebenarnya memiliki pola yang sama dengan keraton di Jawa. Saat datang ke Mataram pada 1656, duta VOC, Rijcklofs van Goens terheran-heran melihat banyaknya jenis makanan yang tersaji.
Budaya makan mewah pun umum digelar untuk tujuan politis, seperti ketika bupati bertemu sultan. Seperti hadirnya budaya Indis pada umumnya, rijsttafel muncul berkat golongan Indo sebagai peranakan Belanda-pribumi. Meski pola pandang mereka eksklusif, menurut Rahman, golongan ini terpengaruhi ibu pribuminya dan memiliki kemampuan khusus pada selera makanan setempat.
Baca Juga: "Rijsttafel" di Rumah Tuan Brandenburg
Misalnya, Nyonya Kromm yang pandai membuat sayur asem, gulali, dan acar, untuk kemudian dijual di tanah Jawa lewat PKL. Atau Nyonya Kloppenburg yang lihai meracik jamu Jawa hingga menulis buku tebal megnenai khasiatnya secara detail.
Agar terlihat mewah dalam pandangan Eropa, orang Belanda menambahkan peranti bergaya Barat seperti sendok dan garpu. Penggunaan ini lumrah bagi orang Belanda demi status mereka, apalagi jika berbahan perak.
Rahman berpendapat, penggunaan ragam peranti ini sejatinya merepotkan untuk orang kita. Kita terbiasa makan dengan tangan telanjang, dan menganggap peranti seperti pisau mentega tidaklah penting. Tetapi elit pribumi lambat laun juga mengadopsi penggunaan peranti ini dengan tujuan mengakrabkan diri dengan Eropa.
Tata sajian ini, menurut Sartono Kartodirdjo, membuat sekat Barat-pribumi tak lagi seketat masa sebelumnya. Tetapi Onghokham menilainya sebagai gejala pembaratan, terlebih Barat pada awal abad ke-20 yang menjadi obsesi pribumi.
Baca Juga: Flu Spanyol, Lambannya Pemerintah Hindia Belanda Menangani Pagebluk
Hidangan eksotis rijsttafel selaras dengan bentang alam Nusantara yang kemudian menjadi ciri pariwisata berkonsep Mooi Indië (Hindia Jelita). Sajian ini dijajakan di berbagai hotel yang bermunculan sejak era 1920-an, seperti Hotel des Indes di Batavia, dan Hotel Savoy Homann di Bandung.
Hidangan tradisional dan Eropa disajikan dengan gaya Belanda. Setiap makan pun di tempatkan pada piring tersendiri seperti acar, sambal, dan kerupuk bersamaan dengan bir. Santapan lokal yang umumnya nasi disajikan sebagai makanan siang, sedangkan menu Eropa disajikan saat sarapan dan makan malam.
Pelayan hotel saat itu diisi oleh orang Bumiputra yang disebut "jongos". Mereka biasanya bekas pekerja perkebunan yang dibeli murah, lalu diberi pelatihan agar terlihat mewah dan rapih.
Penulis era kolonial, W.A van Rees, menggambarkan alat dapur tradisional dan Eropa di restoran dan hotel yang menyediakan rijsttafel digambarkan berdampingan. Rahman berpendapat, ini menggambarkan orang Eropa dan pribumi saling mengenal, serta menyesuaikan diri pada bahan maupun alat masaknya.
Obsesi orang Belanda pada hidangan rijsttafel kemudian membuat makanan lokal makin dominan. Meski kurang terbiasa bagi bangsa Eropa, mereka juga menambahkan bumbu-bumbu lokal pada makanan mereka.
Mereka juga tergila-gila dengan pisang goreng sebagaimana yang tergambar jelas dalam film Oeroeg (1993), yang diadaptasi dari novel berjudul The Black Lake tahun 1948. Kegemaran orang Belanda pada pisang goreng ini, menurut Rahman, sempat membuat Paku Buwono X terheran-heran.
Rijsttafel tak melulu percampuran antara Eropa dan lokal. Makanan dan gaya Tionghoa juga turut bercampur semenjak saat tempat makan mereka marak bermunculan. Sedangkan khas Timur Tengah dan India seperti gulai atau kari turut bercampur dengan perubahan bahan.
Baca Juga: Mengapa Negara Diklasifikasi Sebagai Dunia Pertama, Kedua, dan Ketiga?
Kari India bercita rasa pedas dan beraroma tajam. Demi menguatkan identitas hidangan Nusantara, bahannya diubah menjadi lebih beraroma dan menggunakan lombok yang sedikit.
"Yang sangat dominan adalah penggunaan bahan tumbukan bubuk kemiri dan santan," tulis Rahman. "Sayuran kari Jawa umumnya berbahan misoa, bawang putih, bawang merah, jahe, kemiri, kunyit, gula, ketumbar, jintan, serai, salam daun jeruk, dan santan kelapa."
Seiring meredupnya kebudayaan Indis akibat invasi Jepang pada 1942, kebiasaan rijsttafel juga meluruh. Hotel-hotel yang biasa menyediakan rijsttafel perlahan berhenti beroperasi, bahkan dijadikan markas tentara Jepang seperti Hotel Des Indies.
Sikap anti Barat yang dikampanyekan Jepang membuat tatanan budaya terbalik 180 derajat. Bahkan perempuan Eropa pun didagangkan untuk menjadi pelayan bagi orang Jepang dan pribumi.
Orang Eropa berangsur pulang ke benuanya, menyisakan kerinduan pada eksotisme Nusantara yang telah direbut. Kerinduan mereka pada sajian rasa Nusantara itu kemudian disenandungkan oleh Wieteke van Dort dalam lagunya Geef Mij Maar Nasi Goreng (Berikan Aku Nasi Goreng).
Sebagai gantinya, mereka yang pergi ke Eropa mulai mendirikan tempat makan bernuansa Indonesia. Meskipun cita rasa dan harga tak sebanding dengan masa-masa mereka di Bumi Khatulistiwa.